Advertisement

Header Ads

Tokoh Islam Yang Terkenal

1.    MUHAMMAD ABDUH


Riwayat Hidup Dan Perjuangan Muhammad Abduh


          
  Dilahirkan di Manhallat Nash pada tahun 1849 M (Lubis, 1993: 111-112) sebuah dusun di dekat sungai Nil, propinsi Gharbiyyah-Mesir. Ayahnya seorang petani yang taat beribadah dan mempunyai dua orang isteri. Muhammad Abduh belajar membaca dan menulis di rumah. Pada usia dua belas tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an (Rahnema, 1998: 36).
            Ketika berusia tiga belas tahun, Muhammad Abduh belajar di masjid Ahmadi di Tanta. Masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah universitas Al-Azhar dari segi tempat belajar Al-Qur’an dan menghafalnya. Sistem pembelajaran dengan menghafal nash (teks) dan ulasan serta hukum di luar kepala, yang tidak memberi kesempatan untuk memahami, membuat Muhammad Abduh merasa tidak puas. Dia meninggalkan Masjid dan bertekad untuk tidak kembali lagi ke kehidupan akademis. Kemudian ia menikah pada usia enam belas tahun (Rahnema, 1998: 37).
            Tak lama kemudian Muhammad Abduh berjumpa dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr, seorang guru dari tarekat Syadzily. Dari guru ini Muhammad Abduh mendapat pengajaran tentang disiplin ilmu etika, moral serta praktek kezuhudan tarekatnya (Rahnema, 1998: 37). Pada mulanya ia enggan belajar, namun perjumpaannya dengan Syaikh Darwisy sangat mempengaruhi kehidupannya secara mendalam sehingga dengan bimbingannya semangat belajarnya kembali berkobar (Fakhry, 1987: 462).
            Pada tahun 1866, Muhammad Abduh masuk ke Al-Azhar, sebuah pusat ilmu pengetahuan yang yang besar pada masa itu. Dia bertahan selama empat tahun, tetapi kemudian dia merasa kecewa dengan kurikulum-kurikulum dan metode-metode pembelajaran yang dianggapnya kolot yang dipergunakan di sana (Fakhry, 1987: 462). Metode pembelajaran di sini sangat menonjolkan penghafalan di luar kepala tanpa memahami, seperti yang ditemuinya di Tanta. (Rahnema, 1998: 37). Pada masa ini Jamaluddin Al-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istanbul. Di sinilah Muhammad Abduh bertemu dengan Al-Afghani untuk yang pertama kalinya, ketika ia dan mahasiswa lainnya berkunjung ke tempat penginapan Al-Afghani di dekat Al-Azhar. Dalam pertemuan itu Al-Afghani mengajukan pertanyaan kepada mereka mengenai arti beberapa ayat Al-Qur’an, kemudian beliau berikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh (Nasution, 1996: 60-61).
            Ketika Al-Afghani datang untuk menetap di mesir pada tahun 1871, Muhammad Abduh segera menjadi muridnya yang paling setia (Nasution, 1996: 61). Al-Afghani memberikan tekanan pada mata kuliah teologi dan filsafat, yang pada waktu itu di Al-Azhar dianggap dan disamakan denganbid’ah. Sebelum berguru kepada Al-Afgani dan menekuni ilmu yang dianggap berbahaya itu, Muhammad Abduh minta nasihat kepada Syaikh Darwisy. Bukan saja guru sufy itu  menghapus kecemasannya, bahkan menjamin bahwa filsafat (al-Hikmah) dan ilmu pengetahuan merupakan jalan yang paling selamat untuk mengenal dan menyembah Tuhan. Hanya orang-orang bodoh dan sembrono yang pada hakikatnya merupakan musuh-musuh Tuhan yang paling jahat, yang memandang mata kuliah ini sebagai bid’ah (Fakhry, 1987: 462).
            Tahun 1877 Muhammad Abduh menyelesaikan pendidikannya di Al-Azhar dan mendapat gelar sebagai Alim. Ia mulai mengajar pertama di Al-Azhar kemudian di Dar Al-Ulum dan juga di rumahnya sendiri. Diantara buku-buku yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih, Muqaddimah Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada tahun 1857 (Nasution, 1996: 61). Kesempatan ini juga dimanfaatkan Muhammad Abduh untuk berbicara dan menulis masalah politik, sosial dan khususnya masalah pendidikan nasional, yang pada waktu itu kesadaran nasional di Mesir semakin meningkat. Tahun berikutnya (1879) Al-Afghani dan Muhammad Abduh diusir dari Mesir karena sikap politiknya yang dianggap terlalu keras. Pada saat yang sama Muhammad Abduh diberhentikan dari jabatan mengajarnya di Dar Al-Ulum. Namun tahun 1880 ia segera diaktifkan kembali oleh perdana menteri serta diangkat menjadi salah satu editor, kemudian editor kepala surat kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqai’u Al-Mishriyyah. Dalam posisi ini ia menjadi sangat brpengaruh dalam membentuk pendapat umum (Rahnema, 1998: 38).
            
Ø    Ide-Ide Pembaharuan Dan Pemikiran Muhammad Abduh

1.   Analisis Sebab-sebab Kemunduran Ummat Islam
            Muhammad Abduh menyadari kemunduran masyarakat muslim bila dikontraskan dengan masyarakat Eropa. Menurut analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh faktor eksternal, seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat muslim, dan faktor internal, yaitu situasi yang diciptakanm kaum muslimin sendiri.
            Menurut Muhammad Abduh bangsa Eropa telah memasuki fase baru yang bercirikan peradaban yang berdasarkan ilmu pengetahuan, seni, industri, kekayaan dan keteraturan, serta organisasi politik baru yang berdasarkan pada penaklukan yang disangga oleh sarana baru, seperti melakukan perang, dan didukung oleh senjata yang mampu menyapu bersih banyak musuh. Mereka dianggap sebagai agresor, karena berusaha merebut negeri bangsa lain. Mereka tidak patut memerintah masyarakat muslim karena berbeda agama dan masyarakat muslim tak layak tunduk kepada mereka, sekalipun seandainya mereka menegakkan keadilan. Prinsip mereka yang tinggi tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap rakyat yang ditaklukkan. Orang Mesir menderita karena percaya begitu saja kepada orang asing tanpa bisa membedakan mana yang menipu dan mana yang tulus, mana yang benar dan mana yang berdusta, mana yang setia dan mana yang pengkhianat. Dalam pertemuan dengan seorang wakil pemerintah di Inggris, Muhammad Abduh ditanya bagaimana pendapatnya tentang  keadaan kebijakan Mesir dan Inggris di sana, maka ia menjawab:
“Kami, bangsa Mesir dari Partai Liberal, pernah percaya kepada liberalisme dan simpati Inggris. Kini kami tidak lagi percaya karena fakta lebih kuat dibandingkan dengan kata-kata. Kami lihat sikap leberal anda hanyalah untuk anda sendiri, simpati anda kepada kami seperti simpatinya serigala kepada domba yang akan disantapnya.” (Rahnema, 1998: 41-42).

            Sementara itu faktor internal yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan ummat Islam adalah paham jumud yang terdapat dikalangan ummat Islam. Dalam kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tidak ada perubahan. Karena dipengaruhi paham jumud itulah maka ummat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan, ummat Islam hanya berpegang pada tradisi. Sikap ini dibawa oleh orang-orang bukan Arab (‘ajam) yang kemudian dapat mrampas puncak-puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Mereka bukan dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal sebagaimana yang dianjurkan dalam Al-Qur’an. Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal dengan ilmu pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan akan membukakan mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohannya agar mudah diperintah. Mereka memasukkan ke dalam Islam ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti memuja secara berlebih-lebihan kepada syekh atau wali, kepatuhan membuta kepada ulama, taklid kepada ulama-ulama terdahulu, dan tawakkal serta pasrah yang membabi buta kepada qadha’ dan qadar. Dengan demikian  akal akan membeku dan berhentilah pemikiran dalam Islam. Semakin lama faham jumud semakin meluas di dalam masyarakat di seluruh dunia Islam. Muhammad Abduh menganggap ini semua adalah bid’ah.Sebagaimana Muhammad bin Abd Al-Wahab dan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid’ah itulah yang membuat ummat Islam lupa kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itu pula yang menjadikan masyarakat Islam jauh menyeleweng dari masyarakat Islam yang seharusnya dan yang sebenarnya (Nasution, 1996: 62-63).
            Permusuhan di antara kelompok-kelompok keagamaan dan intelektual yang berbeda-beda kemudian diperuncing oleh kaum politisi, lebih jauh menambah keresahan masyarakat. Akhirnya, kebodohan dan keserbakaburan menjadi gejala umum, dan pertentangan antara ilmu dan agama yang telah dielesaikan Al-Qur’an muncul kembali untuk kedua kalinya (Fakhry, 1987: 466). Maka, untuk selanjutnya Muhammad Abduh menyerukan agar umat Islam kembali kepada satu sumber sejati ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an. Dia menegaskan bahwa Al-Qur’an jelas-jelas memperlihatkan sunan Allah, yaitu hukum Allah yang tak akan berubah, yang menentukan siklus kemunduran serta kehancuran, dan siklus kemajuan serta kejayaan suatu bangsa. Mengikuti hukum-hukum ini merupakan satu-satunya jalan bagi kebangkitan ummat Islam. Tegaknya suatu masyarakat yang baik dan adil tentulah karena mengikuti ajaran Al-Qur’an (Rahnema, 1998: 43).

2.   Aqidah dan Ibadah
            Dalam kitabnya yang berjudul Risalat Al-Tauhid, Muhammad Abduh mengemukakan bahwa, Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, dan tentang sifat-sifat yang pasti ada (wajib)padaNya, sifat-sifat yang bisa ada (Ja’iz) padaNya, dan sifat-sifat yang pasti tidak ada (mustahil) padaNya. Ilmu Tauhid juga membahas tentang para Rasul untuk mengukuhkan kerasulan mereka, dan sifat-sifat yang pasti ada (wajib) pada mereka, sifat-sifat yang bisa dinisbatkan kepada mereka (Ja’iz), serta sifat-sifat yang tidak mungkin dilekatkan (mustahil) pada mereka. Asal arti tauhid adalah keyakinan bahwa Tuhan (Allah) adalah Maha Esa, yang tiada sekutu bagiNya. Ilmu ini dinamakan Tauhidkarena ia merupakan bagian terpenting daripadanya, yaitu pengukuhan sifat Maha Esa kepada Allah pada esensiNya, dan pada karya-karyaNya dalam menciptakan seluruh alam. Juga pengukuhan bahwa Dia adalah satu-satunya tempat kembali semua yang ada, dan penghabisan semua maksud. Usaha ini adalah tujuan paling agung dari diutusnya Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dibuktikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an.
            Kadang-kadang ilmu tauhid dinamakan  ilmu kalam karena persoalan yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perselisihan pendapat di antara para ulama kurun pertama ialah, apakah kalam Allah yang dibacakan (Al-Qur’an) itu tercipta (hadits) atau tak tercipta (qadim). Mungkin juga karena ilmu ini dibina oleh dalil akal atau rasio, di mana bekasnya terlihat jelas dari perkataan setiap ahli yang turut berbicara tentang ilmu itu, dan sedikit sekali yang menggunakan naql (Al-Qur,an dan Sunnah Rasul) kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu kemudian orang beralih kepada hal-hal yang lebih menyerupai cabang daripadanya (furu’), sekalipun yang cabang ini dianggap sebagai suatu masalah yang pokok oleh orang yang datang kemudian. Mungkin juga karena dalam menerangkan cara-cara pembuktian tentang masalah pokok (ushul) agama, lebih mirip dengan ilmu logika (manthiq) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para ahli pikir dalam menjelaskan seluk belukhujjah tentang pendiriannya. Kemudian manthiq diganti dengan kalamuntuk membedakan antara kedua ilmu itu. (Abduh, 1996: 3-4;  Madjid, 1994: 365-366).
            Kuliah-kuliahnya Muhammad Abduh tentang ilmu tauhid di Beirut merupakan dasar bagi karyanya yang sangat sistematis, Risalat Al-Tauhidyang menggambarkan suatu mata rantai panjang risalah-risalah skolastikyang telah diprakarsai oleh doktor-doktor Mu’tazilah pada abad kedelapan. Risalah ini dimulai dengan uraian tentang definisi teologi atau ilmutauhid, seperti studi tentang eksistensi Tuhan, keesaanNya, sifat-sifatNya, dan sifat wahyu kenabian. Menurut pengamatannya, sebelum Islam teologibelum dikenal, tetapi metode demonstrasi yang digunakan oleh para teologpra-Islam cenderung menjadi suatu jenis adikodrati, seperti himbauannya kepada mu’jizat (keajaiban-keajaiban), pembicaraan retorik, atau legenda. Al-Qur’an menentang semua itu. Ia menyingkapkan dengan suatu cara yang tidak dapat ditiru, pengetahuan apa yang telah dibolehkan atau ditentukan Tuhan, tetapi tidak menentukan penerimaannya semata-mata atas dasar wahyu, tetapi dengan mengajarkan pembuktian dan demonstrasi, menguraikan pandangan-pandangan orang yang tidak beriman, dan membantah mereka secara rasional. Ringkasnya ia menyatakan bahwa akal sebagai penentu terakhir tentang kebenaran dan menetapkan perintah-perintah moralnya atas dasar rasional yang kokoh. Oleh karena itu akal dan agama dibariskan sejajar, untuk pertama kalinya dalam Kitab Suci yang diwahyukan Allah kepada Nabi yang menjadi utusanNya. Akibatnya orang Islam menyadari bahwa akal sangat diperlukan untuk menerima butir-butir kepercayaan yang demikian, seperti eksistensi Tuhan, kerasulan nabi-nabiNya, dan juga pemahaman tentang masalah-masalah pokok wahyu dan memenuhi tuntutan-tuntutannya. Mereka juga menyadari bahwa, sekalipun beberapa artikel ini mungkin melampaui daya jangkau akal, namun mereka tidak bertentangan dengannya.
            Intisari ajaran Islam menurut Muhammad Abduh adalah, percaya kepada keesaan Tuhan seperti yang ditetapkan oleh akal dan didukung oleh Al-Qur’an. Menerima begitu saja ketentuan atau dogma adalah tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang tegas, yang telah memerintahkan kita untuk merenungkan keajaiban ciptaan Tuhan. Dia juga memperingatkan orang-orang yang beriman, agar tidak menerima secara tidak kritis kepercayaan para pendahulu mereka. (Fakhry, 1987: 464-466). Dalam dua karya besarnya, Risalat Al-Tauhid dan Al-Islam wa Al-Nashraniyyah ma’a Al-Ilmi wa Al-Madaniyyah, Muhammad Abduh mencoba menyelaraskan akal dan wahyu, namun pada akhirnya akal yang ditekankan. Jika terjadi perselisihan antara akal dan apa yang diriwayatkan hadits, maka akal yang harus didahulukan, dan hadits diinterpretasikan kembali agar sesuai dengan rasio atau akal, atau mengakui kebenarannya seraya mengakui ketidak mampuan manusia untuk mengetahui maksud Allah (Rahnema, 1998: 53).
               Lapangan pengabdian manusia sesuai dengan ajaran Islam menurut Muhammad Abduh terbagi dalam dua kategori, yaitu ibadat danmu’amalat. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits mengenai ibadat bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan (muamalat) hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang tidak terperinci, karena itu dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman (Nasution, 1998: 169). Berkaitan dengan hal ini M. Quraish Shihab dalam bukunya Rasionalitas Al-Qur’an mengatakan:

“Ajaran agama, menurut Abduh secara umum terbagai dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang rinci adalah sekumpulan ketetapan Tuhan dan NabiNya yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan, sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.” (Shihab, 2006: 23).

3.   Tafsir Al-Qur’an.
            Kitab suci Al-Qur’an muncul sebagai kalimah yang agung yang mengungguli segala kalimah apapun, dan hukumnya yang tinggi telah menjadi hukum atas segala yang ada. Munculnya Kitab semacam ini, yang disampaikan oleh lisan seorang yang ummi (tidak mengerti baca tulis) merupakan mukjizat yang paling besar dan dalil atau bukti yang paling nyata, bahwa ia bukan ciptaan manusia. Ia adalah cahaya (nur) yang memancar dari matahari ilmu Ilahi dan hukum yang datang dari hadhirat Rabbani yang disalurkan dengan perantaraan lisan seorang Rasul yang ummi (Abduh, 1996: 123).
              Muhammad Abduh meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia  maupun  di  akhirat. Dia mengkritisi upaya-upaya penafsiran yang membahas tak dapat ditirunya Al-Qur’an, kata-katanya yang asing, makna eksoterisnya, tata bahasanya, dan ulasan-ulasan yang semacam itu dianggapnya tidak bermanfaat, karena tidak menyentuh kepentingan ummat (Rahnema, 1998: 54-55). Kitab-kitab tafsir pada masanya dan pada masa-masa sebelumnya hanyalah pemaparan berbagai pendapat ulama yang berbeda, yang pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an. Sebagian kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, karena hanya mengarahkan perhatian pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain yang menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Qur’an. Kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, dan bukan kitab tafsir yang sesungguhnya. Dalam bidang penafsiran Muhammad Abduh menggarisbawahi bahwa dialog Al-Qur’an berlaku umum untuk setiap masa dan generasi, karena itu menjadi kewajiban setiap orang, baik yang pandai ataupun yang bodoh untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan masing-masing. Menurutnya, ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, dan ada pula yang sukar dipahami dengan akal tetapi tidak bertentangan dengan akal, sehingga walaupun wahyu harus dipahami dengan akal, namun kita harus tetap mengakui keterbatasan akal. Oleh karena itu, manusia membutuhkan bimbingan Nabi SAW, khususnya dalam banyak persoalan metafisika atau dalam beberapa masalah maupun ibadah (Shihab, 2006: 20-21).
            Muhammad Abduh adalah tokoh utama corak penafsiran adabi ijtima’i, yaitu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Alqur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu, kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan. Adapun ciri-ciri penafsiran Muhammad Abduh adalah:
a.   Memandang setiap surat sabagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi; pengertian satu kata atau kalimat harus berkaitan erat dengan tujuan surat secara keseluruhan.
b.   Ayat Al-Qur’an bersifat umum; petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu.
c.   Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum.
d.   Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-qur’an (Shihab, 2006: 24-32).
      Karya-karya Muhammad Abduh di bidang tafsir Al-Qur’an ialah; Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Surah Al-‘Ashr, Tafsir Ayat-ayat Surah An-Nisa’ ayat 77-dan 87, Al-Hajj ayat 52-54, Al-Ahzab ayat 37, dan Tafsir Al-Qur’an dari Al-Fatihah sampai dengan An-Nisa’ ayat 129 (Shihab, 2006: 17-18). Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, melainkan ditulis oleh muridnya, yaitu Muhammad Rasyid Ridha. Atas  desakan muridnya itu ia memberikan kuliah mengenai tafsir Al-Qur’an di Al-Azhar mulai tahun 1899 dan selalu dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan sang guru dicatat oleh muridnya, dan untuk selanjutnya ditulis dalam karangan yang teratur. Apa yang telah ditulis murid selanjutnya diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa. Setelah mendapatkan peretujuan dari sang guru kemudian disiarkan dalam majalah Al-Manar. Dengan demikian maka timbullah Tafsir Al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai ia meninggal tahun 1905. Setelah sang guru meninggal, Muhammad Rasyid Ridha meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan sang guru (Nasution, 1996: 71).


4.   Politik
            Pada usia 23 tahun, Muhammad Abduh berkenalan dengan Al-Afghani, dan darinya ia belajar melihat agama dan ajaran Islam dengan pandangan baru yang berbeda dari apa yang telah dipahami sebelumnya. Oleh Al-Afghani ia dperkenalkan dengan karya-karya penulis barat yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diperkenalkan pula dengan masalah-masalah sosial dan politik yang tengah dihadapi oleh masyarakat Mesir serta ummat Islam pada umumnya. Pada tahun 1880 Muhammad Abduh diangkat menjadi pemimpin majalah resmi Al-Waqa’i Al-Mishriyyah, yang di bawah pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal (Sjadzali, 1993: 120). Keterlibatannya dalam pemberontakan ‘Urabi Pasya menyebabkan dia diasingkan dari Mesir pada tahun 1882. Pengasingan itu menyebabkan terhentinya karir sebagai guru, tetapi dari tempat pengasingannya di Paris, semangatnya melancarkan kegiatan politik dan dakwah kian bertambah, bukan hanya ditujukan kepada masyarakat Mesir tetapi kepada penganut Islam di dunia. Bersama-sama dengan Al-Afghani ia menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut dengan Al-‘Urwat Al-Wutsqa. Ide yang di sebarkan gerakan tersebut tetap sama, yaitu mengobarkan semangat  ummat Islam untuk bangkit melawan kekuasaan Barat (Lubis, 1993: 116).  
             Menurut Muhammad Abduh organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah dalam komunitas. Kontribusi Muhammad Abduh untuk reformasi terlihat dalam perannya sebagai ahli fikih dan Hakim Agama Senior (Mufti Agung). Dia memperluas ruang ijtihad,mengajarkan bahwa moralitas dan hukum harus disesuaikan dengan kondisi modern demi kemaslahatan bersama (Black, 2006: 550-551). Islam tidak mengenal otoritas final, selain otoritas Allah dan Nabi. Syari’at menggariskan hak maupun batasan bagi otoritas tertinggi dalam Islam, seperti penguasa, entah itu khalifah ataupun sultan. Peranan penguasa ini berbeda dengan peran qadhi (hakim). Sultan melaksanakan apa yang diputuskan benar dan adil oleh qadhi. Jika tak ada kekuasaan untuk melaksanakan keadilan dan keputusan qadhi, maka tak ada kearifan dalam perundang-undangan
 Penguasa berhak untuk ditaati selama dia berpegang pada kebenaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, namun tidak ada ketaatan kepada orang yang durhaka terhadap Allah. Kaum muslimin berhak mengontrol dan terus menerus menilai penguasa, juga menuntut pertanggungjawabannya. Jika ia menyimpang dari jalan kebenaran, maka harus diganti. Ummat yang mengangkatnya, dan ummat punya otoritas atas dirinya. Khalifah atau sultan merupakan penguasa sipil yang wilayahnya bukanlah teokrasi. Tugas kaum muslimin adalah memberi nasihat kepada penguasa berdasar pada ajaran Islam seperti majelis syura. Siap atau tidaknya orang untuk menerapkan metode syura bukan ditentukan oleh terlatihnya mereka dalam meneliti, berpikir atau terlatihnya mereka dalam prinsip-prinsip berdebat, tetapi cukup dengan mengupayakan kebenaran dan adanya sistem yang memperhatikan kepentingan publik. Jangan berkhayal bahwa peraturan dan hukum yang adil bisa didasarkan pada model asing. Ada peraturan dan hukum yang cocok bagi sebagian orang, tetapi tidak cocok bagi sebagian yang lain. Oleh karena itu, mereka yang membuat peraturan dan hukum, janganlah mengakomodasi hukum asing, tetapi mereka harus memikirkan kondisi masyarakat dan watak khasnya. (Rahnema, 1998: 61-62). 

5.   Pendidikan
            Ide-ide pembaharuan adalam bidang pendidikan yang diajukan Muhammad Abduh dilatarbelakangi situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu. Pemikiran statis, taqlid, bid’ah, dan khurafatmenjadi ciri dunia Islam pada saat itu. Demikian pula halnya yang terjadi di Mesir. Kejumudan telah merambah ke berbagi bidang dan sistem kehidupan masyarakat. Kejumudan dalam bidang-bidang kehidupan itu tampak saling terkait dan saling mempengaruhi antara bidang kehidupan yang satu dengan bidang kehidupan yang lain, terutama bidang akidah terlihat sangat mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang lain (Lubis, 1993: 152-153). Program pembaharuan pendidikan yang diajukannya adalah; memahami dan menggunakan ajaran Islam dengan benar, sebagai salah satu fondasi utama untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah-sekoalah modern yang didirikan oleh misionaris asing, juga mengkritik sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah. Menurutnya, di sekolah-sekolah  misionaris yang didirikan bangsa asing (al-madrasah al-ajnabiyyah) siswa dipaksa untuk mempelajari kristen, sementara itu di sekolah-sekolah pemerintah, siswa tidak diajar agama sama sekali (Rahnema, 1998: 97). Sementara sekolah-sekolah pemerintah tampil dengan kurikulum barat sepenuhnya, tanpa memasukkan agama ke dalam kurikulumnya, pada sisi yang lain sekolah-sekolah agama tidak memberikan kurikulum modern (Barat) sama sekali. Pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual sama sekali, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejajar dengan aspek jiwa yang lain. Antara tipe sekolah modern yang dibangun oleh pemerintah dan misionaris, dengan tipe sekolah agama di mana Al-Azhar sebagai pendidikan tertingginya, tidak mempunyai hubungan sama sekali antara yang satu dengan yang lain (Lubis, 1993: 153-154).
            Dualisme pendidikan sebagaimana tersebut di atas, melahirkan dua kelas sosial dengan dua spirit yang berbeda. Tipe sekolah modern menghasilkan kelas elit generasi muda dengan pengetahuan modern tanpa pengetahuan agama, sedangkan tipe sekolah agama menghasilkan ulama-ulama yang tidak berpengetahuan modern. Pola pemikiran pada sekolah tipe pertama akan membahayakan dan mengancam sendi-sendi agama dan moral, sementara itu mempertahankan pola pemikiran pada sekolah tipe kedua hanya akan menyebabkan ummat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Dengan memperkuat pendidikana agama di sekolah-sekolah modern dan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam sekolah-sekolah agama, jurang yang memisahkan golongan ahli ilmu modern dari golongan ulama akan dapat diperkecil (Nasution, 1996: 67).
            Tujuan pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan pendidikan yang luas, yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Aspek kognitif untuk menanamkan kebiasaan berfikir, dan dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang membawa mudharat. Aspek afektif untuk menanamkan akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkan moral yang tinggi akan terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencermnkan kerendahan moral dapat terhapuskan. Dengan tujuan pendidikan yang demikian, Muhammad Abduh menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual. Ia berkeyakinan jika akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka ummat Islam akan dapat berpacu dengan Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan (Lubis, 1993: 156).
            Dalam metode pengjaran, Muhammad Abduh membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu. Ia mengkritik tajam metode yang hanya menonjolkan hafalan tanpa pengertian yang pada umumnya diterapkan di sekolah-sekolah. Walaupun tidak menjelaskan dalam tulisan-tilisannya, dari apa yang dipraktekkan ketika mengajar di Al-Azhar, tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid. Ia menekankan pentingnya memberikan pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan, dan memperingatkan para pendidik agar tidak menonjolkan hafalan, karena metode yang demikian menurutnya hanya akan merusak daya nalar (Lubis, 1993: 159-160).



6.   Peranan Wanita  
            Untuk kepentingan pembaharuan sosial, Muhammad Abduh menyerukan supaya syari’at direvisi agar lebih sesuai dengan tuntutan dunia modern. Pembaharuan yang berkenaan dengan peranan dan kedudukan wanita perlu dilakukan. Di dalam Islam terdapat ajaran tentang kesetaraan gender. Pria dan wanita punya hak dan kewajiban yang sama, mereka juga memiliki nalar dan perasaan yang sama. Antara pria dan wanita terdapat hak dan kewajiban terhadap satu sama lainnya, memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang sama terhadap Allah, sama-sama punya kewajiban dan tanggung jawab iman dan Islam, dan sama-sama diseru untuk menuntut ilmu (Rahnema, 1998: 63-64). Terkait dengan masalah pendidikan, sebagaimana kesejajaran wanita dan pria dalam hal keampunan dan pahala dari Allah atas perbuatan yang sama, maka wanita juga berhak mendapatkan pendidikan, seperti hak yang didapatkan lelaki. Wanita harus dilepaskan dari rantai kebodohan, dan yang demikian ini hanya mungkin dengan memberikan mereka pendidikan (Lubis, 1993: 160).
            Mengenai pengelolaan keluarga, pria lebih patut jadi pemimpin, karena pria itu kuat dan pria bertanggung jawab memberikan nafkah kepada keluarganya. Menurut ketentuan hukum, suami bertanggung jawab melindungi dan menafkahi isterinya, dan isteri mentaati suami. Hal ini bukan berarti bahwa wanita dapat dipaksa, wanita dan pria punya fungsi komplementer. Wanita untuk pria dan pria untuk wanita, seperti halnya organ tubuh, pria adalah kepalanya dan wanita adalah badannya. Muhammad Abduh berpendapat, jika wanita mempunyai kualitas memimpin dan kualitas membuat keputusan, maka keunggulan pria tidak berlaku lagi. Muhammad Abduh juga termasuk pendukung monogami, menurutnya praktik poligami yang ada di awal Islam itu, tidak boleh ada lagi di dunia modern ini, karena itu poligami harus dilarang. Nabi dan para sahabat itu sangat adil, namun hal ini mustahil bagi manusia lainnya. Kendati syari’at  membolehkan beristeri empat, jika memang mampu dan bisa berlaku adil, namun dalam analisis akhirnya, mustahil manusia bisa berlaku adil. Jika seseorang benar-benar memahami betapa sulitnya berlaku sama, maka dia akan sadar bahwa mustahil untuk beristeri lebih dari satu. Sementara itu, dia juga berpendapat bahwa keputusan cerai harus dilepaskan dari otoritas suami, dan menempatkannya di bawah yurisdiksi dan kepakaran qadhi. Dia bahkan merumuskan hukum yang memberikan kepada wanita hak untuk minta cerai karena kondisi tertentu, seperti suami tak bertanggung jawab terhadap isteri, perlakuan kasar atau kata-kata yang tak pantas, atau jika terus menerus bertikai yang tidak mungkin ada penyelesaiannya (Rahnema, 1998: 64-66).

7.   Telaah Kritis Tentang Pembaharuan dan Pemikiran Muhammad Abduh
            Ada beberapa hal yang perlu dicermati dan ditelaah secara kritis dari konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh. Konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran yang perlu disikapi secara kritis itu antara lain;
a.   Rasionalitas atau kecenderungan Muhammad Abduh menonjolkan akal dalam ijtihad maupun penafsiran Al-Qur’an terkesan agak berlebihan. Hal demikian terlihat jelas antara lain dalam sikapnya ketika ia menemukan pertentangan antara akal dengan apa yang diriwayatkan hadits, maka akal yang harus didahulukan, padahal kemutlakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak diragukan lagi, sebagimana diakui sendiri oleh Muhammad Abduh bahwa Islam tidak mengenal otoritas final selain otoritas Allah dan Nabi.
b.   Dengan semangat perlawanan terhadap hegemoni Barat dan keinginan mengikis habis kejumudan yang terjadi di kalangan kaum muslimin, Muhammad Abduh mengajukan konsep pembaharuan pendidikan yang mencakup pengembangan aspek kognitif (akal) dan aspek afektif(spiritual) untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkannya, yakni terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual. Agaknya dalam hal ini Muhammad Abduh melupakan satu lagi aspek pendidikan, yaitu aspek psycho motoric (ketrampilan) yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, sesuai dengan semangat yang melatarbelakangi konsep pendidikan yang diajukannya.
c.   Sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam, Muhammad Abduh sangat menghargai dan memuliakan wanita, namun penolakannya terhadap poligami terkesan  berlebihan. Ia beranggapan bahwa poligami tidak sesuai dan tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat modern dengan alasan tidak sesuai dengan prinsip keadilan, sehingga ia menyerukan bahwa poligami harus dilarang. Dalam hal ini Allah yang menurunkan ayat tentang kebolehan poligami (QS. An-Nisa: 3), tentu lebih tahu dan Maha Tahu bahwa hamba-hambaNya tidak akan mampu berlaku adil dalam pengertian yang sebenar-benarnya sebagaimana keadilanNya, karena hanya ada satu Yang Maha Adil yakni Dia sendiri. Sementara itu ayat ini (QS. An-Nisa:3) juga tidak mansukh oleh ayat yang lain. Dengan demikian, keadilan yang disyaratkan dalam poligami tentu bukan keadilan mutlak sebagaimana keadilannya Allah, melainkan keadilan menurut ukuran dan kemampuan manusia.
d.   Pendapat lain yang bertentangan dengan pendapat ulama fiqih pada umumnya ialah, pencabutan keputusan cerai dari otoritas suami dan menempatkannya di bawah yuridiksi dan kepakaran qadhi (hakim). Agaknya, pemikiran Muhammad Abduh dalam hal ini terlalu dipengaruhi oleh realitas sosial pada waktu itu, di mana banyak terjadi ketidakadilan dan penindasan yang diderita oleh kaum wanita, juga sangat mungkin latar belakang kehidupannya yang memilki dua orang ibu (ayahnya beristeri dua) menjadi salah satu faktor yang mempengaruhinya. Hal lain yang mungkin juga berpengaruh terhadapijtihad-nya dalam hal ini ialah, adanya kritik Barat dan golongan anti Islam yang menuduh Islam menindas kaum wanita. Muhammad Abduh berusaha menjawab tuduhan itu dengan menunjukkan keadilan Islam, namun perlu diingat bahwa ketetapan Allah tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad, dan ke-Maha AdilanNya tidak akan berkurang dengan ketetapan yang membolehkan poligami.
e.   Harun Nasution menyatakan bahwa poligami dalam Islam tidak diwajibkan dan juga tidak dianjurkan, tetapi dibolehkan. Manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan jikalau seorang suami yang berhasrat sekali mempunyai anak terpaksa harus menceraikan isteri yang dicintai dan mencintainya agar dapat kawin dengan perempuan lain untuk mendapatkan keturunan. Suami yang kebutuhan biologisnya tidak terpuaskan oleh satu orang isteri, dan tidak dibolehkan oleh hukum untuk kawin lagi hingga mencari kepuasan diluar perkawinan, tidak akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan. Juga tidak akan mencapai kebaikan dan kebahagiaan, dalam masyarakat yang jumlah perempuannya lebih banyak dari pada laki-lakinya, kalau poligami diharamkan (dilarang) (Nasution, 1998: 435).  Untuk pembuktian lebih jauh dalam hal ini, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut oleh para ahli hukum (faqih) dan ahli ilmu kemasyarakatan.  

B.  Sayyid Jamal-Al-Din Al-Afghani,
dikenal sebagai Sayyid Jamal-Al-Din Al-Afghani, (Persia: سید جمال الدین الافغاني) atau Al-Jamal Asadābādī-Din (Persia: جمال الدین اسدآبادی), lahir di desa Asadābād dekatHamadān, Iran  terdapat sumber Sayyid Muhammad bin Safdar al-Husayn (1838 - 1897)  (Persia: سید محمد بن صفدر حسینی), umumnya lain mengatakan bahwa Asadabadi sebenarnya lahir di Asadabad, daerah provinsi Kunar diAfganistan, merupakan aktivis politik, nasionalis Islam, pencetus, perintis Islamisme dan Pan Islamisme pernah bertempat tinggal diAfganistan, Indonesia, Iran, Mesir, dan Kesultanan Ottoman pada abad ke-19. adalah salah satu pencetus Pan Islamisme, digambarkan sebagai pribadi yang "lebih memperjuangkan kaum muslim terhadap dominasi politik Barat dibandingkan masalah teologi ." banyak menulis dalam majalah al-'Urwat al-Wuthqa
Al-Jamal Asadābādī-Din berusaha memecah tembok eksklusif kaum Muslimin dan membawa mereka memasuki dunia lebih terbuka. Afghani tetap optimis meskipun menghadapi realitas adanya kemajemukan bangsa, budaya dan agama. Baginya agama itu sendiri, khususnya agama rumpun Semitik - Yahudi, Kristen dan Islam - bukan menjadikan faktor perpecahan. Menurutnya perpecahan hanya terjadi bila dieksploitasi oleh kepentingan-kepentingan semata, orang yang berkepentingan. menurut Jamal al-Din perpecahan di kalangan penganut agama lebih banyak dicetuskan oleh para pedagang agama, Merekalah yang menimbulkan isu perselisihan dan memperniagakannya di warung agama masing-masing untuk mengambil keuntungan peribadi. 
Jamaluddin al-Afghani dilahirkan di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistan, pada tahun 1838 (1254 H). Al-afghani menghabiskan masa kecilnya di Afghanistan, namun banyak berjuang di Mesir, India bahkan Perancis. Pada usia 18 tahun di Kabul, Jamaluddin tidak hanya menguasai ilmu keagamaan tetapi juga mendalami filsafah, hukum, sejarah, metafisika, kedokteran, sains, astronomi dan astrologi. 
Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke -19. Sayyid Sand adalah ayah Afghani, yang dikenal dengan gelar Shadar Al-Husaini. Ia tergolong bangsawan terhormat dan mempunyai hubungan nasab dengan Hussein Ibn Ali r.a., dari pihak Ali At-Tirmizi, seorang perawi hadits. Oleh karena itu, di depan nama Jamaluddin al-Afghani diberi title “Sayyid”. Afghani melanjutkan belajar ke India selama satu tahun. Di india Afghani menekuni sejumlah ilmu pengetahuan melalui metode modern. Didorong keyakinannya, ia melanglang buana ke berbagai negara. Dari India, Jamaluddin melanjutkan perjalanan ke mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulangnya ke Kabul ia diminta penguasa Afghanistan Pangeran Dost Muhammad Khan, untuk membantunya. Tahun 1864,, ia diangkat menjadi penasehat Sher Ali Khan, dan beberapa tahun kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri oleh Muhammad A’zam Khan. Namun karena campur tangan Inggris, Jamaluddin akhirnya meninggalkan Kabul ke Mekkah. Inggris menilai Jamaluddin sebagai tokoh berbahaya karena ide-ide pembaharuannya, terus mengawasinya.



Ø   Pemikiran – Pemikiran Jamaluddin al-Afghani
Pada saat kembalinya Jamaluddin ke India untuk kedua kalinya setelah pergi meninggalkan Mesir karena ketidaksenangan Inggris yang telah menghasut kaum teolog untuk melawan jamaluddin atas kegiatan-kegiatan Jamaluddin yang menyebabkan banyaknya orang kristen yang masuk Islam. Di sini, ia menuliskan risalah yang sangat terkenal, Pembuktian Kesalahan Kaum Materialis, risalah ini menimbulkan gejolak besar kalangan materialis.
Jamaluddin al-  Afghani pernah menerbitkan jurnal Al-Urwat-Al-Wuthqa yang mengecam keras Barat. Jurnal tersebut juga dikenal sebagai jurnal anti penjajahan, yang diterbitkan di Paris. Jurnal ini segera menjadi barometer perlawanan imperialisme dunia Islam yang merekam komentar, opini, dan analisis bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan barat yang penasaran dan kagum dengan kecermelangan Afghani.
Pada tahun 1889, al-Afhgani diundang ke Persia untuk suatu urusan persengketaan politik antara Persia dengan Rusia. Bersamaan dengan itu al-Afghani melihat ketidakberesan politik dalam negeri Persia sendiri. Karenanya, ia menganjurkan perombakan sistem politik yang masih otokratis.
Dan beberapa kontribusi al-Afghani yang lain adalah perlawanan terhadap kolonial barat yang menjajah negeri-negeri Islam (terutama terhadap penjajah Inggris). Kemudian upaya melawan pemikiran naturalisme India, yang mengingkari adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora dan hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kepentingan umat manusia  secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan adanya pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa materi mampu membuka pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia sebagai hamba Tuhan. Dari situlah al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat dengan syari’at san ajaran-ajarannya.
Afghani juga mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah, yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh.
Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam, serta pengembalian keutuhan umat Islam, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam (Jami’ah islamiyah) atau Pan-Islamisme. Menurut Afghani, asosiasi politik itu harus meliputi seluruh umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam negara-negara yang merdeka, termasuk Persia, maupun mereka yang masih merupakan rakyat jajahan. Ikatan tersebut, yang didasarkan atas solidaritas akidah Islam, bertujuan membina kesetiakawanan dan pesatuan umat Islam dalam perjuangan; pertama, menentang tiap sistem pemerintahan yang dispotik atau sewenang-wenang, dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, hal mana juga berarti menentang sistem pemerintahan Utsmaniyah yang absolut itu. Kedua, menentang kolonialisme dan dominasi Barat.
Menurut Afghani, dalam ikatan itu eksistensi dan kemandirian masing-masing negara anggota tetap diakui dan dihormati, sedangkan kedudukan para kepala negaranya, apa pun gelarnya, tetap sama dan sederajat antara satu dengan yang lain, tanpa ada satu pun dari mereka yang lebih ditinggikan.
Afghani mendiagnose penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah tidak adanya keadilan dan syura (dewan) serta tidak setianya pemerintah pada konstitusi dikarenakan pemerintahan yang sewenang-wenang (despotik), inilah alasan mengapa pemikir di negara-negara Islam di timur tidak bisa mencerahkan masyarakat tentang inti sari dan kebaikan dari pemerintahan republik. Pemerintahan republik, merupakan sumber dari kebahagiaan dan kebanggaan. Mereka yang diatur oleh pemerintahan republik sendirilah yang layak untuk disebut manusia; karena suatu manusia yang sesungguhnya hanya diatur oleh hukum yang didasari oleh keadilan dan mengatur gerakan, tindakan, transaksi dan hubungan dengan orang yang lain yang dapat mengangkat masyarakat ke puncak kebahagiaan. Bagi Afghani, pemerintah rakyat adalah “pemerintahan yang terbatas”, pemerintahan yang yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan karenanya merupakan lawan dari pemerintahan absolut. Merupakan suatu pemerintah yang berkonsultasi dalam mengatur, membebaskan dari beban yang diletakkan pemerintahan despotik dan mengangkat dari keadaan membusuk ke tingkat kesempurnaan.


Beberapa Ajarannya
1. Bidang politik

Jamaluddin al-Afghani oleh penulis Barat dikatakan sebagai pelopor “Pan Islamisme” yang mengajarkan bahwa semua umat Islam harus bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah untuk membebaskan mereka dari penjajahan Barat. Yakni sebagai jaminan keemasan Islam dahulu sebelum Islam menjadi lemah karena perpecahan yang tak putusnya dan tanah air Islam menjadi terjerumus kebodohan dan kelemahan, hingga jatuh menjadi mangsa kekuasaan Barat.

Muhammad Ibnu Abdul Wahab dalam perjuangannya menuju kepada perbaikan aqidah. Maka jalan yang ditempuh oleh Jamaluddin al-Afghani ialah :
a)      Perbaikan jiwa dan cara berpikir.
b)      Perbaikan pemerintah / negara, kemudian keduanya berhubungan mempunyai jalinan dengan ajaran agama.

Semua aspek gerakan Jamaluddin al-Afghani yang menjadi sasaran utama ialah membebaskan negara Islam dari penjajahan dan untuk menuju itu umat Islam harus membebaskan diri dari pola-pola pikiran yang beku. Untuk mencairkan ini menurut Jamaluddin al-Afghani, orang-orang Islam harus mempunyai kepandaian teknis dalam rangka kemajuan barat, wajib belajar secara rahasia kelemahan orang Eropa.

2. Bidang Agama

Jamaluddin al-Afghani walaupun menjadi seorang pemimpin politik, di mana dipandang dari sudut gerakannya menunjukkan kecondongan dibidang politik, namun tidak dapat dilupakan jasanya dalam meninggikan kedudukan agama, pembaharu akal umat Islam yang dipengaruhi tradisi dan khurafat yang membawa kejumudan umat Islam. Jamaluddin al-Afghani dalam usahanya menentang penjajahan Barat, maka jalan yang ditempuhnya untuk menghadapi penjajahan ini membangunkan kembali jiwa Islam, menghilangkan sifat kesukuan / golongan dan mengikis taqlid dan fanatisme serta melaksanakan ijtihad dalam memahami a-Qur’an, hidup layak dan penuh kebijaksanaan di kalangan umat Islam.

Oleh karena itu Jamaluddin al-Afghani berpendapat, bahwa kesejahteraan umat Islam tergantung pada:
a)      Akal manusia harus disinari dengan tauhid, membersihkan jiwanya dari kepercayaan tahayul.
b)     Orang harus merasa dirinya dapat mencapai kemuliaan budi pekerti yang utama.
c)      Orang harus menjadikan aqidah, sehingga prinsip yang pertama dan dasar keimanan harus diikuti dengan dalil dan tidaklah keimanan yang hanya ikutan semata (taqlid).
         
3. Ajarannya tentang Qada dan Qodar

Jamaluddin al-Afghani adalah seorang muslim sejati dan seorang rasionalis dan ia menuntut kepada semua aliran untuk menjadikan akal sebagai dasar utama untuk mencapai keagungan Islam, karena akal menempati kedudukan istimewa dalam dunia Islam. Jamaluddin al-Afghani sebagai seorang yang bersemangat menjunjung tinggi kedudukan akal, mendukung aliran Mu’tazilah yang mempunyai doktrin tentang pembahasan diri dari ajaran takdir yang orang barat disebut Fatalisme.

Mengenai hal ini menurut Jamaluddin al-Afghani, adapun yang dikatakan qada dan qodar yang dikatakan “predestination” dalam bahasa Inggris sebagai tujuan permulaan. Menurut al-Jabr (fatalism), qada dan qodar adalah penyerahan diri secara mutlak tanpa usaha dan ini suatu ajaran baru (bid’ah) dalam agama yang dimasukkan dalam ajaran Islam oleh musuh Islam untuk suatu tujuan politik tertentu agar Islam hancur dari dalam.

Jamaluddin al-Afghani sebagai orang Islam mengakui bahwa kepercayaan asasi. Tidak ada kepercayaan kepada takdir adalah kehilangan salah satu tonggak dari iman. Kepercayaan inilah yang menyebabkan umat Islam jaman dahulu, nabi-nabi dan sahabatnya dan salafus shalihin dapat merebut dunia dan mengaturnya. Menurut dia, timbulnya kerusakan di kalangan muslim antara lain: dari kepercayaan al-Jabr ini dan kesalahan dalam memahami qada dan qodar, sehingga memalingkan jiwa umat dari bersungguh-sungguh dalam usaha dan umat Islam di masa silam bersifat dinamis.

4. Penolakannya terhadap aliran naturalisme dan materialisme

Perjalanan hidup Jamaluddin al-Afghani sesuai dengan jalan fikirannya. Teori dan prakteknya selalu berjalin rapat dengan tindakannya. Kedudukan dan perilakunya ditandai oleh 3 macam keadaan :
a)      Kenikmatan jiwa / rohani.
b)      Perasaan agama yang mendalam.
c)      Moral yang tinggi, ke semua ini sangat berkesan dan mempengaruhi semua usahanya.

Gambaran ini jelas dapat dilihat dalam penolakannya terhadap aliran naturalisme dan materialisme. Jamaluddin al-Afghani memandang bahwa cara penjajahan Barat di negeri Islam membawa gambaran yang berbeda untuk menghancurkan kepribadian tiap-tiap orang Islam yang bersumber dari ajaran al-Qur’an. Ajaran ini mempunyai kekuatan untuk menjalin kekuatan kesatuan di kalangan kaum muslimin. Ia memperingatkan segala gambaran yang dilihatnya itu diantaranya : usaha untuk merusak aqidah orang Islam baik dengan cara memecah belahnya maupun dengan usaha memalingkannya dari ajaran agama, yang berusaha demikian di antaranya aliran naturalisme dan materialisme.

Naturalisme yaitu hal atau tinjauan berdasarkan alam. Sedangkan materialisme adalah orang yang hanya mementingkan kebendaan di atas segala-galanya. Jamaluddin sangat menentang aliran naturalis (ateis) yang tersebar luas di India, 1879. Tentang aliran ini Jamaluddin berkata “Aliran ini akan membelah kaum muslimin menjadi 2 kelompok; kelompok lama dan baru, kelompok yang tunduk kepada penjajah dan kelompok oposisi. Aliran ini juga akan memecah hubungan umat Islam India dari kekhalifahan Utsmani di sisi lain”.

Jamaluddin melihat berbagai bentuk yang dilakukan penjajahan Barat di negara Islam untuk merusak kepribadian Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan menyatukan umat Islam dalam satu ikatan. Sedangkan bentuk yang paling berbahaya ialah berusaha merusak akidah dari hatinya. Maka aliran naturalisme dan materialisme – yang di India dikenal sebutan kaum ateis – di anggap sebagai senjata melawan kekuatan umat Islam yang sumbernya agama. Menurut Jamaluddin, bahaya aliran ini, orang yang mempropagandakannya di India memakai “pakaian muslim” untuk melemahkan aqidah kaum muslim.

Ada tiga hal penolakan Jamaluddin terhadap kaum ateis yaitu: tentang pentingnya agama bagi masyarakat, bahaya aliran ateis dalam masyarakat, dan keunggulan agama Islam sebagai suatu agama dan akidah di atas agama-agama lain. Jamaluddin berpendapat, keyakinan agama sebagai suatu akidah menjamin 3 unsur penting bagi masyarakat : rasa malu, jujur dan setia. Ia menerangkan, ketiga unsur tersebut amatlah penting bagi masyarakat yang jujur, yang tidak dimiliki oleh ajaran ateisme. Ia berkata demikian: “Sesungguhnya keyakinan seorang ateis tidak dapat bersatu dengan keutamaan sifat jujur, setia, kepahlawanan dan kesatriaan. Itu disebabkan, manusia memiliki syahwat yang tidak terbatas, sedangkan alam (nature) tidak memberikan cara-cara terbentuk untuk mencapai syahwat itu”.
Sedangkan bahaya aliran materialisme dan naturalisme terhadap masyarakat diterangkan Jamaluddin dengan menyebutkan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang telah dikuasai oleh aliran di atas, dahulu dan sekarang. Jamaluddin menerangkan aliran naturalis menampakkan diri dalam beberapa bentuk, seperti :
a)      Aliran Epikorus dalam masyarakat Greek (Yunani)
b)      Aliran Mozdak dalam masyarakat Persi
c)      Aliran kebatinan (mistik) dalam masyarakat Islam
d)     Aliran Voltaire dan Rousseau dalam masyarakat Prancis
e)     Aliran era modern di Turki
f)     Aliran Komunisme, nasionalisme dan sosialisme di Eropa dan Rusia
g)    Aliran Mourman di Amerika.

Pengaruh Ajarannya
Ajaran Jamaluddin al-Afghani berpengaruh besar sekali terutama di Mesir, baik pada generasi muda (pelajar) dan sebagian ulama Azhar misalnya M. Abdul Karim Salman, Syeikh Ibrahim Allaqani, Syeikh Saad Zaqlul, pengaruh dari tokoh pembaharuan dalam Islam ini kita melihat dari Turki ketika Inggris menduduki Mesir tahun 1882, Jamaluddin al-Afghani serta merta di usir. Kemudian melanjutkan ke Konstatinopel, dan ia mendapat perlindungan dari Abdul Hamid, lalu membentangkan politik Pan Islamisme.

Sebab-Sebab Kemunduran Umat Islam
a)      Umat Islam mundur, karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya mengikuti ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam.
b)      Salah pengertian tentang maksud hadits yang mengatakan bahwa umat Islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman. Salah pengertian ini membuat umat Islam tidak berusaha merubah nasib mereka.
c)     Perpecahan yang terdapat di kalangan umat Islam, pemerintahan absolut, mempercayakan pimpinan umat kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya, mengabaikan masalah pertahanan militer, menyerahkan administrasi negara kepada orang-orang tidak kompeten dan intervensi asing (bersifat politis).
d)     Lemahnya rasa persaudaraan Islam

Pembaharuan
a)      Melenyapkan pengertian salah yang dianut umat Islam pada umumnya dan kembali pada ajaran dasar Islam yang sebenarnya, hati disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan kembali dan kesediaan berkorban untuk kepentingan umat.
b)      Corak pemerintahan otokrasi harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi.
c)      Persatuan umat Islam mesti diwujudkan kembali. Dengan bersatu dan mengadakan kerjasama yang erat.



GERAKAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI

  1. Gerakan Pembaharuan Islam di abad Modern
Pada masa itu, bukanlah seorang hakim yang dibutuhkan, karena seorang hakim pada masa itu tidak bisa lepas dari pesanan dan intervensi pemerintah. Dan pada masa itu, bukan pula seorang faqih yang dibutuhkan untuk memperbarui hukum-hukum Islam klasik. Andaipun mereka hidup pada masa itu, maka keberadaan merekapun juga tidak mampu untuk mengubah keadaan yang ada. Sesungguhnya yang dibutuhkan pada masa itu adalah seorang revolusioner islamis seperti yang terdapat dalam jiwa Jamaluddin al-Afghani.

Afghani memang bukan seorang hakim, tapi dia punya syarat dan kapabilitas untuk menjadi seorang hakim dan diapun bukan seorang faqih yang menguasai dunia literatur fiqh, walaupun dia bukan pula orang yang buta dan taklid dalam berfiqih. Tetapi dia adalah seorang revolusioner islamis, seorang penggugah dalam tidur yang berkepanjangan, seorang pengilham bagi jiwa-jiwa pesimisme. Dengan jiwa revolusinya dan kepribadian Islam nya membuat dia mampu untuk menunutun bangsanya untuk bersama-sama menghadapi dua problematika dasar pada masa itu. Pertama, penjajahan dari luar dan kedua, adalah otoritarianisme pemerintahan dari dalam. Dan dengan tegas dia katakan bahwa dua hal ini bisa hilang bukanlah sebuah kemungkinan, namun sebuah keharusan yang bisa tercapai bila kaum dan bangsanya mempercayainya.

Dan dengung pembaharuannya pun bisa mempengaruhi semua kalangan hingga pada kalangan yang berpautan jauh dari zaman nya seperti Ahmad Luthfi Sayyid maupun Qasim Amin. Adapun Mesir sebagai negara satu-satunya yang lama dia berdomisili berhasil melahirkan adanya kebangkitan pemikiran, kebangkitan jurnalistik dan kebangkitan politik di negeri tersebut. Dan dialah orang pertama kali yang mengatakan bahwa “Misr lilmasriyyin” dan perintis pertama “Hizb Wathan” hingga dengan gerakan pembaharuannya berhasil melahirkan tuntutan adanya undang-undang negara dan pembentukan majelis perwakilan. Dan ini semua telah tercapai dengan hasil yang tidak sedikit, bahkan jika saja intervensi Inggris yang dimotori oleh Khadevi tidak turut serta, maka gerakan ini pun bisa mencapai pada kemerdekaan Mesir pada saat itu.

Dan suatu kelebihan dari diri Afghani ialah kemampuanya untuk menghentak kesadaran Bangsa Mesir saat itu untuk secara kesuluruhan sadar kembali dalam menghadapi cengkraman penjajahan Eropa dalam kepemimpinan Ratu Victoria. Adapun perjuangan Afghani dibagi dalam dua tahap, merombak sistem yang ada saat itu dan membangun kembali sistem yang baru. Dalam tahap pertama di lakukan dengan cara melawan penjajahan dari luar dan mengecam diktatorisme pemerintahan dari dalam. Adapun tahap kedua, dia sadar bahwa ini memerlukan waktu yang lama, adapun pelaksanaan pada tahap ini dilakukan oleh para pembaharu-pembaharu selanjutnya yang hidup pada masa sesudah meninggalnya Jamaluddin al-Afghani. Sepeninggal Afghani muncul beberapa upaya untuk meragukan kembali perjuangan dan kontribusi Afghani bagi umat Islam saat itu, namun semua itu mengalami kegagalan dan jauh yang diharapkan.

  1. Gerakan Pan Islamisme
Dari sudut pandang ide secara umum gerakan pembaharuan di Indonesia dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran dan usaha tokoh-tokoh pembaharu Timur Tengah pada akhir abad ke-19, khususnya Sayid Jamaluddin Al-Afghani dan Sheikh Muhammad Abduh.Kedua tokoh tersebut menyentakkan umat Islam bahwa kemunduran Islam, karena umatnya telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya. Pemikiran dan usaha mereka bertumpu pada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sangat mendorong penggunaan akal sehingga keharusan ijtihad tidak pernah tertutup. Meskipun sikap politik mereka secara tegas menunjukkan anti Barat karena praktek penjajahan terhadap negara-negara Islam,Jamaluddin dan Mohammad Abduh memberi dukungan kepada umat Islam untuk mempelajari pengetahuan yang lebih luas sebagaimana telah dilakukan lebih dulu oleh sebagian besar negara Barat. Dalam kaitan itulah, mereka menyerukan penataan sistem kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan pendidikan.

Gerakan Jamaluddin Al-Afghani dengan Pan Islamismenya mempunyai dua tujuan utama,yaitu membangun dunia Islam di bawah satu pemerintahan dan mengusir penjajahan dunia Barat atas dunia Islam (Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam). Al-Afghani melihat di antara sebab kemunduran Islam adalah lemahnya persaudaraan antara sesama umat Islam. Karena itu harus dibangun solidaritas umat Islam sedunia (Pan Islamisme) sehingga umat Islam berada dalam pemerintahan yang demokratis. Dengan cara demikian umat Islam akan memperoleh kemerdekaannya kembali dari penjajah Barat.Tentang dunia Nasrani, Al-Afghani berpendapat sekalipun mereka berlainan keturunan dan kebangsaan, namun mereka bersatu dalam menghadapi dunia Islam. Mereka sengaja meng halang-halangi kebangkitan umat Islam. Apa yang dika takan nasionalisme dan patriotisme serta cinta tanah air bagi Barat, untuk dunia Islam mereka katakan sebagai fanatisme, ekstremisme dan chauvinisme.Oleh sebab itu, seru Al-Afghani, Tidak ada jalan lain bagi umat Islam, kecuali bersatu melawan penjajah Barat tersebut.

Di Indonesia, hampir berbarengan dengan Gerakan Pan Islam berdiri perkumpulan Jamiatul Kheir di Pekojan, Batavia, pada 1901 sebagai organiasi sosial yang membawa semangat tolong menolong. Jamiatul Kheir dibentuk dengan tujuan utama mendirikan satu model sekolah modern yang terbuka luas untuk umat Islam.
Perkumpulan ini lebih menitikberatkan pada semangat pembaruan melalui lembaga pendidikan modern. Pramudya Ananta Toer dalam bukunya, Rumah Kaca, menyebut Jamiatul Kheir yang didirikan sejak 1901 merupakan organisasi politik yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan yang telah menginspirasi lahirnya Boedi Oetomo.Jamiat Kheir membangun sekolah bukan semata-mata bersifat agama, tapi sekolah dasar biasa dengan kurikulum agama, berhitung,sejarah, ilmu bumi dan bahasa pengantar Melayu. Bahasa Inggris merupakan pelajaran wajib, pengganti bahasa Belanda.Sedangkan pelajaran bahsa Arab sangat ditekankan sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam.

Keberadaan Jamiatul Kheir yang kemudian disusul dengan Al-Irsyad, setidak-tidaknya sebagai penggerak dunia Islam baru yang pertama kali di Indonesia. Deliar Noer menulis pentingnya Jamiat Kheir terletak pada kenyataan bahwa ialah yang memulai organiasi dalam bentuk modern dalam masyarakat Islam (dengan anggaran dasar, daftar anggota tercatat,rapat-rapat berkala), dan yang mendirikan sekolah dengan cara-cara yang banyak sedikitnya telah modern (kurikulum,kelas-kelas, dan pemakaian bangku-bangku,papan tulis dan sebagainya).Menurut H.Agus Salim banyak anggota Budi Utomo dan Sarikat Islam sebelumnya adalah anggota Jamiatul Khair.Dalam kaitan dengan gerakan kemerdekaan,pada 4 Oktober 1934, pemuda keturunan Arab se Nusantara berkongres di Semarang, dipelopori oleh AR Baswedan, mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab: Indonesia adalah tanah airnya, bersumpah untuk turun kelas dari bangsa Timur asing menjadi pribumi.
Kongres itu juga membentuk Persatuan Arab Indonesia (PAI), yang bertujuan meraih kemerdekaan Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, PAI membubarkan diri karena tujuannya telah tercapai. Seperti anak-anak bangsa lainnya mereka lalu menyebar dan aktif dalam berbagai bidang di masyarakat.

  1. Tarbiyah Pemikiran Syaikh Jamaluddin Al-Afghani
Semua orang sepakat bahwa dialah yang menghembuskan gerakan Islam modern dan mengilhami pembaharuan di kalangan kaum Muslim yang hidup ditengah-tengah kemodernan. Dia pula yang pengaruhnya amat besar terhadap gerakan-gerakan pembebasan dan konstitusional yang dilakukan dinegara-negara Islam setelah zamannya. Ia menggabungkan ilmu-ilmu tradisional Islamnya dengan berbagai ilmu pengetahauan yang diperolehnya dari Eropa dan pengetahuan modern.

Afghani mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah, yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh. Sebenarnya Afghani bukanlah pemikir Islam yang pertama yang mempelopori aliran salafiyah (revivalis). Ibnu Taymiyah telah mengajarkan teori yang serupa, begitu pula Syeikh Mohammd Abdul Wahab pada abad ke-18. Tetapi salafiyah (baru) dari Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni; Pertama, keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin. Kedua, perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ketiga, pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat dalam dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam. Adapun alairan-aliran salafiyah sebelum Afghani hanya terdiri dari unsur pertama saja.

Afghani mendiagnose penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah tidak adanya keadilan dan syura (dewan) serta tidak setianya pemerintah pada konstitusi dikarenakan pemerintahan yang sewenang-wenang (despotik), inilah alasan mengapa pemikir di negara-negara Islam di timur tidak bisa mencerahkan masyarakat tentang inti sari dan kebaikan dari pemerintahan republik. Pemerintahan republik, merupakan sumber dari kebahagiaan dan kebanggaan. Mereka yang diatur oleh pemerintahan republik sendirilah yang layak untuk disebut manusia; karena suatu manusia yang sesungguhnya hanya diatur oleh hukum yang didasari oleh keadilan dan mengatur gerakan, tindakan, transaksi dan hubungan dengan orang yang lain yang dapat mengangkat masyarakat ke puncak kebahagiaan. Bagi Afghani, pemerintah rakyat adalah “pemerintahan yang terbatas”, pemerintahan yang yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan karenanya merupakan lawan dari pemerintahan absolut. Merupakan suatu pemerintah yang berkonsultasi dalam mengatur, membebaskan dari beban yang diletakkan pemerintahan despotik dan mengangkat dari keadaan membusuk ke tingkat kesempurnaan.

Reformasi atau pembaharuan dalam bidang politik yang hendak diperjuangkan oleh salafiyah (baru) di negara-negara Islam adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melaui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan (rakyat), pembatasan terhadap kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-undang, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik an sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan an dominasi Barat.

Tujuan utama gerakan Afghani ialah menyatukan pendapat semua negara-negara Islam dibawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah imperium Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa. Ia ingin membangunkan kesadaran mereka akan kejayaan Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu. Menyadarkan bahwa kelemahan umat Islam sekarang ini adalah karena mereka berpecah-belah. Afghani adalah pembaharu muslim pertama yang menggunakan term Islam dan Barat sebagai dua fenomena yang selalu bertentangan. Sebuah pertentangan yang justru harus dijadikan patokan berpikir kaum muslim, yaiut untuk membebaskan kaum muslim dari ketakutan dan eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Eropa.

Beberapa buku yang ditulis oleh Afghani antara lain ; Tatimmat al-bayan (Cairo, 1879). Buku sejarah politik, sosial dan budaya Afghanistan. Hakikati Madhhabi Naychari wa Bayani Hali Naychariyan. Pertama kali diterbitkan di Haydarabad-Deccan, 1298 H/1881 M, ini adalah karya intelektual Afghani paling utama yang diterbitkan selama hidupnya. Merupakan suatu kritik pedas dan penolakan total terhadap materialisme. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Arab oleh Muhammad Abduh dengan judul Al-Radd 'ala al-dahriyyin (Bantahan terhadap Materialisme). Al-Ta'Liqat 'ala sharh al-Dawwani li'l-'aqa'id al-'adudiyyah (Cairo, 1968). Berupa catatan Afghani atas komentar Dawwani terhadap buku kalam yang terkenal dari] Adud al-Din al-'Iji yang berjudul al-‘aqa’id al-‘adudiyyah. Berikutnya Risalat al-waridat fi sirr al-tajalliyat (Cairo, 1968). Suatu tulisan yang didiktekan oleh Afghani kepada siswanya Muhammad 'Abduh ketika ia di Mesir. Khatirat Jamal al-Din al-Afghani al-Husayni (Beirut, 1931). Suatu buku hasil kompilasi oleh Muhammad Pasha al-Mahzumi wartawan Libanon. Mahzumi hadir dalam kebanyakan forum pembicaraan Afghani pada bagian akhir dari hidupnya Buku berisi informasi yang penting tentang gagasan dan hidup Afghani.
Selanjutnya, pemikiran Afghani, diteruskan dan dikembangkan oleh murid-muridnya yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Selanjutnya, pemikiran Islam modern yang mereka kembangkan bukan hanya pada tingkat wacana, namun ditransformasikan oleh pengikut-pengikut selanjutnya menjadi gerakan. Dapat dikatakan bahwa gerakan Islam di abad kedua puluh banyak terpengaruh olehnya dan menjadikannya sumber inspirasi. Pengaruh tersebut terlihat dalam tokoh dan gerakan-gerakan Islam modern masa kini seperti Hasan al-Banna
dengan Ikhwanul Muslimin, Abul A’la al-Maududi dengan Jama’atul Islam dan termasuk Muh Natsir dengan Masyuminya

PEMIKIRAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI

  1. Ide dan Pemikiran Pembaharuan Islam di Abad Modern
            Pemikiran Pembaharuan Al-Afghani ini didasari atas keyakinan bahwa islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, jaman dan keadaan. Dalam pandangannya islam tidak pernah menganjurkan apalagi memerintahkan untuk statis dan mundur. Sebaiknya, islam terus mendorong untuk selalu maju.

Al-Afghani melihat kemunduran umat islam pada masa itu disebabkan oleh beberapa factor yaitu:
  1. Umat islam dipengaruhi sifat statis, meninggalkan akhlak tinggi dan melupakan ilmu pengetahuan.
  2. Adanya paham jabariyah, yaitu tentang qada dan qadar, sehingga mereka tidak mau berusaha.
  3. Ada sebuah hadits yang mengatakan bahwa umat islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman.
  4. Persaudaraan umat islam sangat lemah.
  5. Perpecahan dikalangan umat islam.

Buku yang diajarkan dan di diskusikan:
  1. Al-Zaura’ dalam bidang tasawuf.
  2. Syah Al-Quthb Al-Syamsiyah dalam bidang logika.
  3. Al-Hidayah, Al-Isyarah, Al-hikmah Al-Isyraq dalam bidang filsafat.
  4. Tadzirah dalam bidang astronomi.

B.     Pemikiran Politik Islam Jamaluddin Al-Afghani

          Afghani dibesarkan dibesarkan di Afgahanistan. Pada usia 18 tahun di Kabul, Afghani tidak hanya menguasai segala cabang ilmu keagamaan, tetapi juga mendalami falsafah, hukum, sejarah, metafisika, kedokteran, sains, astronomi dan astrologi. Kemudian pergi ke India dan tinggal disana selama satu tahun sebelum menunaikan ibadah haji pada tahun 1857. pada waktu itu di India terjadi pengotakan dramatis antara pembaharu Muslim yang pro-Inggris dan Muslim yang anti-Inggris. Afghani bersekutu dengan kelompok Muslim tradisionalis untuk menghadapi kelompok Muslim pro-Inggris. Ia menyadari bahwa kebangkitan dan solidaritas Islam bisa menjadi senjata untuk melawan Pemerintahan Inggris di bumi Muslim. Ia mendorong rakyat India untuk bangkit melawan kekuasaan Inggris. Hasilnya pada tahun 1857 muncul kesadaran baru di kalangan pribumi India untuk melawan penjajah.
   Sekembalinya ia di Afghanistan ia memasuki dinas pemerintahan Amir Dost Muhamma Khan. Ketia Amir meninggal dan digantikan oleh Amir Syir Ali, Afghani diangkat menjadi Menteri. Namun ketika Syir Ali dijatuhkan maka dengan dalih akan menunaikan ibadah haji lagi pada tahun 1869, Afghani meninggalkan Afghanistan. Dari snilah awal keterlibatan langsung Afghani dalam gerakan internasional anti kolonialisme/imperialisme Barat dan despotisme Timur.
            Pada tahun 1871 Afghani tiba di Istambul. Oleh karena masyarakat Istambul sudah terlebih dahulu mendengar tentang kealiman dan perjuangannya, maka tokoh-tokoh masyarakat di ibukota kerajaan Usthmaniyah itu menyambutkanya dengan gembira. Belum lama tinggal di Istambul ia diangkat menjadi anggota Majelis Pendidikan, dan mulai diundang berceramah di Aya Sofia serta Masjid Ahmadiyah. Popularitas Afghani ini mengundang kecemburuan Hasan Fahmi, Syaikh al-Islam, dan mufti itu berhasil memfitnah Afghani dengan materi ceramahnya di muka sejumlah mahasiswa dan cendekiawan di Dar al-Funun. Karena fitnah ini Afghani memutuskan untuk pindah ke Kairo.

Di Kairo ia disambut gembira, baik oleh penguasa maupun oleh ilmuan. Melihat campur tangan Inggris di Mesir, dan tidak inginnya Inggris melihat Islam bersatu dan kuat, Afghani akhirnya kembali lagi ke politik. Sebagai langkah taktis atau intrik politik, Afghani bergabung dengan perkumpulan Free Masonry, suatu organisasi yang disokong oleh kelompok anti zionis. Dari sini, tahun 1897 terbentuk partai politik bernama Hizb al-Wathani (Partai Kebangsaan). Slogan partai ini: “Mesir untuk Bangsa Mesir”. Partai ini antara lain menanamkan kesadaran berbangsa, memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaanpers, memperjuangkan unsur-unsur Mesir masuk dalam angkatan bersenjata.

Dengan berdirinya partai ini Afghani merasa mendapat sokongan untuk berusahan menggulingkan raja Mesir yang berkuasa waktu itu, yakni Khadewi Ismail yang pemboros, untuk digantikan dengan putera mahkota Taufiq. Taufiq berjanji akan mengadakan pembaharuan-pembaharuan sebagaimana yang dituntut Hizb al-Wathani. Tetapi karena kegiatan politik dan agitasinya yang tajam terhadap campur tangan Inggris dalam negeri Mesir, maka Taufiq atas tekanan Inggris justru mengusir Afghani keluar dari Mesir pata tahun 1879.

Dari mesir Afghani dibawa ke India, ditahan di Haiderabad dan Kalkuta, dan baru dibebaskan setelah pemberontakan Urabi Pasha di Mesir tahun 1882 berhasil ditumpas. Pada tahun 1883, Afghani berada di London kemudian pindah ke Paris dan menerbitkan majalah berkala dalam bahasa Arab Al-Urwah al-Wutqa bersama muridnya Muhammad Abduh yang juga diusir dari Mesir karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Urabi Pasha yang gagal itu. Afghani mengembangkan polemik anti Inggrisnya. Ia mulai mengemukakan argumen yang memperkuat pandangannya bahwa persatuan antar negara Islam dapat membendung serbuan pihak asing. Karena peredarannya dihalangi oleh penguasa kolonial, majalah berkala ini hanya berumur 8 bulan setelah terbit sebanyak 18 nomor. Nomor pertama terbit 13 Maret 1884 dan yang terakhir 17 Oktober tahun yang sama.



Pada tahun 1886, Afghani pergi ke Teheran. Dari sana ia pergi ke Rusia, kemudian ke Eropa. Tahun 1889 kembali ke Teheran. Tetapi kemudian Perdana Menteri Mirza Ali Asghar Khan, yang menganggap kehadiran Afghani sebagai ancaman bagi kedudukannya, berhasil menghasut Syah Nasirudin supaya tidak percaya lagi kepada Afghani. Pada awal tahun 1891, Afghani ditangkap dan dibawa ke Khariqin, suatu kota kecil dekat tapal batas Persia-Turki. Dari sana ia pergi ke London. Kemudian atas undangan Sultan Abdul Hamid ia datang dan menetap di Istambul, Turki. Afghani wafat pada bulan Maret 1879, karena kanker yang berawal dari dagunya.

C.      K.H. Ahmad Dahlan


Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan diakui sebagai salah seorang tokoh pembaru dalam pergerakan Islam Indonesia, antara lain, karena ia mengambil peran dalam mengembangkan pendidikan Islam dengan pendekatan-pendekatan yang lebih modern. Ia berkepentingan dengan pengembangan pendidikan Islam masyarakat yang menurutnya tidak sesuai dengan ajaran Al –Qur’an dan Hadits.
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, 1 Agustus 1868 adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. K.H Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Dalam sumber lain K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1869.
Diwaktu kecil K.H. Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis, nama Ahmad Dahlan adalah pergantian setelah berangkat untuk menunaikan ibadah haji di Makkah. Sebelum mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, beliau bergabung sebagai anggota Boedi Oetomo yang merupakan organisasi kepemudaan pertama di Indonesia.
Dengan kedalaman ilmu agama dan ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan Islam, K.H. Ahmad Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan Islam ke pelosok-pelosok tanah air sambil berdagang batik. K.H. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo dan Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan umat Islam dan bangsa. K.H. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan, Yogyakarta.

 Latar Belakang Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Saat masih kecil beliau diasuh oleh ayahnya sendiri yang bernama K.H. Abu bakar. Karena sejak kecil Muhammad Darwis mempunyai sifat yang baik, budi pekerti yang halus dan hati yang lunak serta berwatak cerdas, maka ayah bundanya sangat sayang kepadanya. Ketika Muhammad Darwis menginjak usia 8 tahun Ia dapat membaca Al-Qur’an dengan lancar. Dalam hal ini Muhammad Darwis memang seorang yang cerdas pikirannya karena dapat mempengaruhi teman-teman sepermainannya dan dapat mengatasi segala permasalahan yang terjadi diantara mereka.
Muhammad Darwis tinggal di kampung kauman yang mana di tempat itu anti dengan penjajah. Suasana seperti itu tidak memungkinkan bagi Muhammad Darwis untuk memasuki sekolah yang dikelola oleh pemerintah penjajah. Pada waktu itu siapa yang memasuki sekolah gubernamen, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah jajahan, dianggap kafir atau kristen. Sebab itu muhammad Darwis tidak meuntut ilmu pada sekolah Gubernamen, Ia mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan dari ayahnya sendiri.
                 Pada abad ke-19 berkembang suatu tradisi mengirimkan anak kepada guru untuk menuntut ilmu, dan menurut Karel Steebbrink sebagaimana yang dikutip oleh Weinata Sairin ada enam macam guru yang terkenal pada masa itu; guru ngaji Qur’an, guru kitab, guru tarekat, guru untuk ilmu ghaib, pejual jimat dan lain-lain. Dari lima macam guru tadi, Muhammad Darwis belajar mengaji Qur’an pada ayahnya, sedangkan belajar kitab pada guru-guru lain.
     Setelah menginjak dewasa, Muhammad Darwis mulai membuka kebetan kitab mengaji kepada K.H. Muhammad Saleh dalam bidang ilmu Fiqh dan kepada K.H. Muhsin dalam bidang ilmu nahwu. Kedua guru tersebut merupakan kakak ipar yang rumahnya berdampingan dalam suatu komplek. Sedangkan pelajaran yang lain beliau belajar kepada ayahnya sendiri. Guru-guru Muhammad Darwis lain yang bisa disebut adalah; Kyai haji Abdul Khamid, KH. Muhammad Nur, dan Syaikh Hasan.
Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan mempelajari perubahan-perubahan yang terjadi di Mesir, Arab, dan India, untuk kemudian berusaha menerapkannya di Indonesia. Ahmad Dahlan juga sering mengadakan pengajian agama di langgar atau mushola.

Ø   Tujuan Berdirinya Organisasi Muhammadiyah
Sesuai dengan ide pembaruan yang di serapnya dari pemikiran Timur Tengah, ia pun mulai melakukan usaha meluruskan akidah dan amal ibadah masyarakat Islam. Melihat kondisi umat Islam yang saat itu cukup kritis, K.H. Ahmad Dahlan terdorong untuk mendirikan organisasi yang kemudian dinamakan Muhammadiyah. Organisasi ini berdiri pada 8 November 1912 di yogyakarta. Perkumpulan Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran Islam kepada sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini diwujudkan melalui usaha memperluas dan mempertinggi pendidikan Islam, serta memperteguh keyakinan agama Islam.
Tujuan dari berdirinya organisasi ini ialah mengadakan dakwah Islam, memajukan pendidikan dan pengajaran, menghidupkan sifat tolong-menolong, mendirikan tempat ibadah dan wakaf, mendidik dan mengasuh anak-anak agar menjadi umat Islam yang berarti, berusaha ke arah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam, serta berusaha dengan segala kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan islam berlaku dalam masyarakat. Rumusan tujuan ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Desenber 1950. Setelah organisasi ini berdiri, sekolah yang didirikan semakin banyak, karena pendirian sekolah dan madrasah menjadi prioritas dalam setiap gerakan Muhammadiyah. Oleh karena itu, di mana ada cabang perkumpulan organisasi ini dipastikan terdapat sekolah atau Madrasah Muhammadiyah. Hal ini dimungkinkan karena kalangan pendukung Muhammadiyah kebanyakan berasal dari kaum pedagang dan pegawai di wilayah perkotaan sehingga mudah untuk dikoordinasikan.

Ø    Pemikiran-Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan

Kyai Dahlan selama di Mekkah dalam hajinya yang pertama dan kedua banyak berguru demi memperdalam wawasan ke-Islamannya. Telah kita sama-sama ketahui pula seperti apa keadaan Timur Tengah semasa beliau belajar disana. Dari kedua premis ini dapat kita ambil benang merah terkait perkembangan pemikiran Kyai Dahlan sepulang dari Mekkah. Ketika pemahamannya akan keberagaman kian matang ia pulang dan berhadapan dengan kenyataan-kenyataan sosial masyarakat .
Kyai Dahlan tentulah pernah bersentuhan dengan gagasan pembaruan islam yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Jamaludin Al-Afghani. Lagipula beliau juga belajar di Mekkah yang merupakan bagian dari tanah arab yang ketika itu diwarnai dengan gerakan-gerakan purifikasi Islam ala Wahabi. Persentuhan intelektual ini jelas meninggalkan bekas mendalam bagi Kyai Dahlan. Bertolak dari situlah Kyai Dahlan mulai menghayati perlunya suatu gerakan pembaruan Islam dikampung halamannya. Ketika Islam telah tercampur aduk dengan tradisi dan umat muslim kian terjebak dalam formalitis agama jelas harus ada yang ‘meluruskannya’ kembali. Inilah peran besar yang diambil oleh Kyai Dahlan dengan penuh keinsyafan.
Penyusun berpendapat bahwa pemikiran pembaruan dan pemurnian Islam Kyai Dahlan merupakan sebuah sitesis pemikiran. Kyai Dahlan sampai pada cita-citanya setelah ‘terlibat’ dialog intelektual dari pembacaannya terhadap gagasan-gagasan serupa di Timur Tengah dan kegelisahannya menghadapi kenyataan sosial - kultural masyarakat
muslim Jawa yang terjebak formalitas kegamaan.  Yang otentik dari kiai dahlan adalah model gerakanya yang mengakar. Tajdid atau pembaharuan dijayati sebagai sebuah gerakan sosial yang tidak hanya mandeg ditatanan ide, tapi juga tindakan nyata yang menyentuh langsung kehidupan ummat muslim. Dalam bahasa Muhammad Damami, MA, dalam karyanya “Akar Gerakan Muhammadiyah” , beragama harus menyapa kehidupan, untuk lebih jelasnya tentang pokok-pokok pemikiran kiai Dahlan.
Formalitas beragama adalah fokus utama yang ingin didekonstruksi oleh kyai dahlan. Ide pembaharuan menyangkut akidah dan syariat. Misalnya tentang upacara ritual kematian , upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, berziarah ke kuburan keramat, memberikan sesajen kepada hal yang dianggap keramat dan sebagainya. Menurut kyai dahlan , hal-hal tersebut bertentangan dengan Islam dan dapat menimbulkan syirik dan musyrik. Kyai Dahlan juga berupaya menegakkan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Berusahan mengedepankan ijtihad jika ada hal yang dapat dalam Al- Qur’an maupun hadist serta berusaha menghilangkan taqlid (pendapat ulama terdahulu tanpa ada dasarnya) dalam fiqih dan  menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Di sinilah intelektual yang penyusun sebut di atas muncul . Upaya kyai dahlan ini memiliki kemiripan jika kita bandingkan dengan pemikiran-pemikiran Muhammad abduh dan jamaludin Al-afghani, bahkan dengan gerakan wahabi du arab Saudi . namun kita harus menarik garis batas yang tegas ketika kemiripan gagasan ini pada aktualisasinya. Tidak seperti gagasan reformasi timur tengah yang cenderung frontal dan banyak menimbulkan ekses-ekses negatif. Aktualitas yang dilakukan kyai dahlan justru berlaku sebaliknya.
 Kuntowijoyo dalam kata pengantarnya untuk buku Islam murni dalam masyarakat petani menegaskan bahwa kyai dahlan sangatlah toleran dengan praktis keagamaan di zamannya dan memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan berbagi golongan. Sepertiyang kita ketahui bersama. Kyai dahlan adalah juga anggota BU sering memberikan ceramah-ceramah di berbagi daerah. Itulah bukti kecil yang menandaskan bahwa gagasan-gagasan kyai dahlan diterima dengan baik.

Ø    Pembaruan – Pembaruan K.H. Ahmad Dahlan
Dalam bidang Agama, Bagi Kiai Dahlan Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.
Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.
Di bidang Organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama Pramuka – dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.

Ø    Analisa
          Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.

Posting Komentar

0 Komentar