1.
MUHAMMAD ABDUH
Riwayat Hidup Dan
Perjuangan Muhammad Abduh
Dilahirkan di Manhallat Nash pada tahun 1849 M (Lubis, 1993: 111-112) sebuah dusun di dekat sungai Nil, propinsi Gharbiyyah-Mesir. Ayahnya seorang petani yang taat beribadah dan mempunyai dua orang isteri. Muhammad Abduh belajar membaca dan menulis di rumah. Pada usia dua belas tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an (Rahnema, 1998: 36).
Ketika
berusia tiga belas tahun, Muhammad Abduh belajar di masjid Ahmadi di Tanta. Masjid
ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah universitas Al-Azhar dari segi
tempat belajar Al-Qur’an dan menghafalnya. Sistem pembelajaran dengan menghafal
nash (teks) dan ulasan serta hukum di luar kepala, yang tidak memberi
kesempatan untuk memahami, membuat Muhammad Abduh merasa tidak puas. Dia
meninggalkan Masjid dan bertekad untuk tidak kembali lagi ke kehidupan
akademis. Kemudian ia menikah pada usia enam belas tahun (Rahnema, 1998: 37).
Tak
lama kemudian Muhammad Abduh berjumpa dengan pamannya, Syaikh Darwisy Khadr,
seorang guru dari tarekat Syadzily. Dari guru ini Muhammad
Abduh mendapat pengajaran tentang disiplin ilmu etika, moral serta praktek
kezuhudan tarekatnya (Rahnema, 1998: 37). Pada mulanya ia enggan belajar, namun
perjumpaannya dengan Syaikh Darwisy sangat mempengaruhi kehidupannya secara
mendalam sehingga dengan bimbingannya semangat belajarnya kembali berkobar
(Fakhry, 1987: 462).
Pada
tahun 1866, Muhammad Abduh masuk ke Al-Azhar, sebuah pusat ilmu pengetahuan yang
yang besar pada masa itu. Dia bertahan selama empat tahun, tetapi kemudian dia
merasa kecewa dengan kurikulum-kurikulum dan metode-metode pembelajaran yang
dianggapnya kolot yang dipergunakan di sana (Fakhry, 1987: 462). Metode
pembelajaran di sini sangat menonjolkan penghafalan di luar kepala tanpa
memahami, seperti yang ditemuinya di Tanta. (Rahnema, 1998: 37). Pada masa ini
Jamaluddin Al-Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istanbul. Di sinilah
Muhammad Abduh bertemu dengan Al-Afghani untuk yang pertama kalinya, ketika ia
dan mahasiswa lainnya berkunjung ke tempat penginapan Al-Afghani di dekat
Al-Azhar. Dalam pertemuan itu Al-Afghani mengajukan pertanyaan kepada mereka
mengenai arti beberapa ayat Al-Qur’an, kemudian beliau berikan tafsirannya sendiri.
Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh (Nasution,
1996: 60-61).
Ketika
Al-Afghani datang untuk menetap di mesir pada tahun 1871, Muhammad Abduh segera
menjadi muridnya yang paling setia (Nasution, 1996: 61). Al-Afghani memberikan
tekanan pada mata kuliah teologi dan filsafat, yang pada waktu itu di Al-Azhar
dianggap dan disamakan denganbid’ah. Sebelum berguru kepada Al-Afgani
dan menekuni ilmu yang dianggap berbahaya itu, Muhammad Abduh minta nasihat
kepada Syaikh Darwisy. Bukan saja guru sufy itu menghapus
kecemasannya, bahkan menjamin bahwa filsafat (al-Hikmah) dan
ilmu pengetahuan merupakan jalan yang paling selamat untuk mengenal dan
menyembah Tuhan. Hanya orang-orang bodoh dan sembrono yang pada hakikatnya
merupakan musuh-musuh Tuhan yang paling jahat, yang memandang mata kuliah ini
sebagai bid’ah (Fakhry, 1987: 462).
Tahun
1877 Muhammad Abduh menyelesaikan pendidikannya di Al-Azhar dan mendapat gelar
sebagai Alim. Ia mulai mengajar pertama di Al-Azhar kemudian di Dar Al-Ulum dan
juga di rumahnya sendiri. Diantara buku-buku yang diajarkannya adalah buku
akhlak karangan Ibnu Miskawaih, Muqaddimah Ibnu Khaldun dan
sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam
bahasa Arab pada tahun 1857 (Nasution, 1996: 61). Kesempatan ini juga
dimanfaatkan Muhammad Abduh untuk berbicara dan menulis masalah politik, sosial
dan khususnya masalah pendidikan nasional, yang pada waktu itu kesadaran
nasional di Mesir semakin meningkat. Tahun berikutnya (1879) Al-Afghani dan
Muhammad Abduh diusir dari Mesir karena sikap politiknya yang dianggap terlalu
keras. Pada saat yang sama Muhammad Abduh diberhentikan dari jabatan
mengajarnya di Dar Al-Ulum. Namun tahun 1880 ia segera diaktifkan kembali
oleh perdana menteri serta diangkat menjadi salah satu editor, kemudian editor
kepala surat kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqai’u Al-Mishriyyah.
Dalam posisi ini ia menjadi sangat brpengaruh dalam membentuk pendapat umum
(Rahnema, 1998: 38).
Ø
Ide-Ide Pembaharuan
Dan Pemikiran Muhammad Abduh
1. Analisis Sebab-sebab Kemunduran
Ummat Islam
Muhammad
Abduh menyadari kemunduran masyarakat muslim bila dikontraskan dengan
masyarakat Eropa. Menurut analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh faktor eksternal, seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat
muslim, dan faktor internal, yaitu situasi yang diciptakanm kaum muslimin
sendiri.
Menurut
Muhammad Abduh bangsa Eropa telah memasuki fase baru yang bercirikan peradaban
yang berdasarkan ilmu pengetahuan, seni, industri, kekayaan dan keteraturan,
serta organisasi politik baru yang berdasarkan pada penaklukan yang disangga
oleh sarana baru, seperti melakukan perang, dan didukung oleh senjata yang
mampu menyapu bersih banyak musuh. Mereka dianggap sebagai agresor, karena
berusaha merebut negeri bangsa lain. Mereka tidak patut memerintah masyarakat
muslim karena berbeda agama dan masyarakat muslim tak layak tunduk kepada
mereka, sekalipun seandainya mereka menegakkan keadilan. Prinsip mereka yang
tinggi tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap rakyat yang ditaklukkan. Orang
Mesir menderita karena percaya begitu saja kepada orang asing tanpa bisa
membedakan mana yang menipu dan mana yang tulus, mana yang benar dan mana yang
berdusta, mana yang setia dan mana yang pengkhianat. Dalam pertemuan dengan
seorang wakil pemerintah di Inggris, Muhammad Abduh ditanya bagaimana
pendapatnya tentang keadaan kebijakan Mesir dan Inggris di sana,
maka ia menjawab:
“Kami, bangsa Mesir dari Partai Liberal, pernah
percaya kepada liberalisme dan simpati Inggris. Kini kami tidak lagi percaya
karena fakta lebih kuat dibandingkan dengan kata-kata. Kami lihat sikap leberal
anda hanyalah untuk anda sendiri, simpati anda kepada kami seperti simpatinya
serigala kepada domba yang akan disantapnya.” (Rahnema, 1998: 41-42).
Sementara
itu faktor internal yang menyebabkan kemunduran dan
keterbelakangan ummat Islam adalah paham jumud yang terdapat
dikalangan ummat Islam. Dalam kata jumud terkandung arti keadaan
membeku, keadaan statis, tidak ada perubahan. Karena dipengaruhi paham jumud
itulah maka ummat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima
perubahan, ummat Islam hanya berpegang pada tradisi. Sikap ini dibawa oleh
orang-orang bukan Arab (‘ajam) yang kemudian dapat mrampas puncak-puncak
kekuasaan politik di dunia Islam. Mereka bukan dari bangsa yang mementingkan pemakaian
akal sebagaimana yang dianjurkan dalam Al-Qur’an. Mereka berasal dari bangsa
yang jahil dan tidak kenal dengan ilmu pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu
pengetahuan karena ilmu pengetahuan akan membukakan mata rakyat. Rakyat perlu
ditinggalkan dalam kebodohannya agar mudah diperintah. Mereka memasukkan ke
dalam Islam ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat berada dalam keadaan statis,
seperti memuja secara berlebih-lebihan kepada syekh atau wali, kepatuhan
membuta kepada ulama, taklid kepada ulama-ulama terdahulu, dan tawakkal serta
pasrah yang membabi buta kepada qadha’ dan qadar.
Dengan demikian akal akan membeku dan berhentilah pemikiran dalam
Islam. Semakin lama faham jumud semakin meluas di dalam masyarakat
di seluruh dunia Islam. Muhammad Abduh menganggap ini semua adalah bid’ah.Sebagaimana
Muhammad bin Abd Al-Wahab dan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh berpendapat
bahwa masuknya berbagai macam bid’ah itulah yang membuat ummat
Islam lupa kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itu
pula yang menjadikan masyarakat Islam jauh menyeleweng dari masyarakat Islam
yang seharusnya dan yang sebenarnya (Nasution, 1996: 62-63).
Permusuhan
di antara kelompok-kelompok keagamaan dan intelektual yang berbeda-beda kemudian
diperuncing oleh kaum politisi, lebih jauh menambah keresahan masyarakat.
Akhirnya, kebodohan dan keserbakaburan menjadi gejala umum, dan pertentangan
antara ilmu dan agama yang telah dielesaikan Al-Qur’an muncul kembali untuk
kedua kalinya (Fakhry, 1987: 466). Maka, untuk selanjutnya Muhammad Abduh
menyerukan agar umat Islam kembali kepada satu sumber sejati ajaran Islam,
yaitu Al-Qur’an. Dia menegaskan bahwa Al-Qur’an jelas-jelas
memperlihatkan sunan Allah, yaitu hukum Allah yang tak akan
berubah, yang menentukan siklus kemunduran serta kehancuran, dan siklus
kemajuan serta kejayaan suatu bangsa. Mengikuti hukum-hukum ini merupakan
satu-satunya jalan bagi kebangkitan ummat Islam. Tegaknya suatu masyarakat yang
baik dan adil tentulah karena mengikuti ajaran Al-Qur’an (Rahnema, 1998: 43).
2. Aqidah dan Ibadah
Dalam
kitabnya yang berjudul Risalat Al-Tauhid, Muhammad Abduh
mengemukakan bahwa, Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang
wujud Allah, dan tentang sifat-sifat yang pasti ada (wajib)padaNya,
sifat-sifat yang bisa ada (Ja’iz) padaNya, dan sifat-sifat
yang pasti tidak ada (mustahil) padaNya. Ilmu Tauhid juga
membahas tentang para Rasul untuk mengukuhkan kerasulan mereka, dan sifat-sifat
yang pasti ada (wajib) pada mereka, sifat-sifat yang bisa dinisbatkan
kepada mereka (Ja’iz), serta sifat-sifat yang tidak mungkin dilekatkan (mustahil)
pada mereka. Asal arti tauhid adalah keyakinan bahwa Tuhan
(Allah) adalah Maha Esa, yang tiada sekutu bagiNya. Ilmu ini dinamakan Tauhidkarena
ia merupakan bagian terpenting daripadanya, yaitu pengukuhan sifat Maha Esa
kepada Allah pada esensiNya, dan pada karya-karyaNya dalam menciptakan seluruh
alam. Juga pengukuhan bahwa Dia adalah satu-satunya tempat kembali semua yang
ada, dan penghabisan semua maksud. Usaha ini adalah tujuan paling agung dari
diutusnya Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dibuktikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an.
Kadang-kadang
ilmu tauhid dinamakan ilmu kalam karena
persoalan yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perselisihan pendapat di
antara para ulama kurun pertama ialah, apakah kalam Allah yang
dibacakan (Al-Qur’an) itu tercipta (hadits) atau tak tercipta (qadim).
Mungkin juga karena ilmu ini dibina oleh dalil akal atau rasio, di mana
bekasnya terlihat jelas dari perkataan setiap ahli yang turut berbicara tentang
ilmu itu, dan sedikit sekali yang menggunakan naql (Al-Qur,an dan Sunnah Rasul)
kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu kemudian orang beralih
kepada hal-hal yang lebih menyerupai cabang daripadanya (furu’),
sekalipun yang cabang ini dianggap sebagai suatu masalah yang pokok oleh orang
yang datang kemudian. Mungkin juga karena dalam menerangkan cara-cara
pembuktian tentang masalah pokok (ushul) agama, lebih mirip dengan ilmu
logika (manthiq) sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para ahli pikir
dalam menjelaskan seluk belukhujjah tentang pendiriannya.
Kemudian manthiq diganti dengan kalamuntuk
membedakan antara kedua ilmu itu. (Abduh, 1996: 3-4; Madjid, 1994:
365-366).
Kuliah-kuliahnya
Muhammad Abduh tentang ilmu tauhid di Beirut merupakan dasar
bagi karyanya yang sangat sistematis, Risalat Al-Tauhidyang
menggambarkan suatu mata rantai panjang risalah-risalah skolastikyang
telah diprakarsai oleh doktor-doktor Mu’tazilah pada abad kedelapan. Risalah
ini dimulai dengan uraian tentang definisi teologi atau ilmutauhid,
seperti studi tentang eksistensi Tuhan, keesaanNya,
sifat-sifatNya, dan sifat wahyu kenabian. Menurut pengamatannya, sebelum
Islam teologibelum dikenal, tetapi metode demonstrasi yang
digunakan oleh para teologpra-Islam cenderung menjadi suatu jenis
adikodrati, seperti himbauannya kepada mu’jizat (keajaiban-keajaiban),
pembicaraan retorik, atau legenda. Al-Qur’an menentang semua itu. Ia
menyingkapkan dengan suatu cara yang tidak dapat ditiru, pengetahuan apa yang
telah dibolehkan atau ditentukan Tuhan, tetapi tidak menentukan penerimaannya
semata-mata atas dasar wahyu, tetapi dengan mengajarkan pembuktian dan
demonstrasi, menguraikan pandangan-pandangan orang yang tidak beriman, dan
membantah mereka secara rasional. Ringkasnya ia menyatakan bahwa akal sebagai
penentu terakhir tentang kebenaran dan menetapkan perintah-perintah moralnya
atas dasar rasional yang kokoh. Oleh karena itu akal dan agama dibariskan
sejajar, untuk pertama kalinya dalam Kitab Suci yang diwahyukan Allah kepada
Nabi yang menjadi utusanNya. Akibatnya orang Islam menyadari bahwa akal sangat
diperlukan untuk menerima butir-butir kepercayaan yang demikian, seperti eksistensi Tuhan,
kerasulan nabi-nabiNya, dan juga pemahaman tentang masalah-masalah pokok wahyu
dan memenuhi tuntutan-tuntutannya. Mereka juga menyadari bahwa, sekalipun
beberapa artikel ini mungkin melampaui daya jangkau akal, namun mereka tidak
bertentangan dengannya.
Intisari
ajaran Islam menurut Muhammad Abduh adalah, percaya kepada keesaan Tuhan
seperti yang ditetapkan oleh akal dan didukung oleh Al-Qur’an. Menerima begitu
saja ketentuan atau dogma adalah tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang
tegas, yang telah memerintahkan kita untuk merenungkan keajaiban ciptaan Tuhan.
Dia juga memperingatkan orang-orang yang beriman, agar tidak menerima secara
tidak kritis kepercayaan para pendahulu mereka. (Fakhry, 1987: 464-466). Dalam
dua karya besarnya, Risalat Al-Tauhid dan Al-Islam wa
Al-Nashraniyyah ma’a Al-Ilmi wa Al-Madaniyyah, Muhammad Abduh mencoba
menyelaraskan akal dan wahyu, namun pada akhirnya akal yang ditekankan. Jika
terjadi perselisihan antara akal dan apa yang diriwayatkan hadits, maka akal
yang harus didahulukan, dan hadits diinterpretasikan kembali agar sesuai dengan
rasio atau akal, atau mengakui kebenarannya seraya mengakui ketidak mampuan
manusia untuk mengetahui maksud Allah (Rahnema, 1998: 53).
Lapangan
pengabdian manusia sesuai dengan ajaran Islam menurut Muhammad Abduh terbagi
dalam dua kategori, yaitu ibadat danmu’amalat.
Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits mengenai ibadat bersifat
tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai hidup
kemasyarakatan (muamalat) hanya merupakan dasar-dasar dan
prinsip-prinsip umum yang tidak terperinci, karena itu dapat disesuaikan dengan
tuntutan zaman (Nasution, 1998: 169). Berkaitan dengan hal ini M. Quraish
Shihab dalam bukunya Rasionalitas Al-Qur’an mengatakan:
“Ajaran agama, menurut Abduh secara umum terbagai
dalam dua bagian, yaitu rinci dan umum. Yang rinci adalah sekumpulan ketetapan
Tuhan dan NabiNya yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan,
sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah
penjabaran dan perinciannya sesuai dengan kondisi sosial.” (Shihab, 2006: 23).
3. Tafsir Al-Qur’an.
Kitab
suci Al-Qur’an muncul sebagai kalimah yang agung yang mengungguli segala
kalimah apapun, dan hukumnya yang tinggi telah menjadi hukum atas segala yang
ada. Munculnya Kitab semacam ini, yang disampaikan oleh lisan seorang
yang ummi (tidak mengerti baca tulis) merupakan mukjizat yang
paling besar dan dalil atau bukti yang paling nyata, bahwa ia bukan ciptaan
manusia. Ia adalah cahaya (nur) yang memancar dari matahari ilmu Ilahi
dan hukum yang datang dari hadhirat Rabbani yang disalurkan
dengan perantaraan lisan seorang Rasul yang ummi (Abduh, 1996: 123).
Muhammad
Abduh meyakini bahwa Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh ummat
manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di
dunia maupun di akhirat. Dia mengkritisi
upaya-upaya penafsiran yang membahas tak dapat ditirunya Al-Qur’an,
kata-katanya yang asing, makna eksoterisnya, tata bahasanya, dan ulasan-ulasan
yang semacam itu dianggapnya tidak bermanfaat, karena tidak menyentuh
kepentingan ummat (Rahnema, 1998: 54-55). Kitab-kitab tafsir pada masanya dan
pada masa-masa sebelumnya hanyalah pemaparan berbagai pendapat ulama yang
berbeda, yang pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Al-Qur’an.
Sebagian kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, karena hanya
mengarahkan perhatian pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari
segi i’rab dan penjelasan lain yang menyangkut segi-segi teknis
kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat Al-Qur’an. Kitab-kitab tafsir
tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, dan
bukan kitab tafsir yang sesungguhnya. Dalam bidang penafsiran Muhammad Abduh
menggarisbawahi bahwa dialog Al-Qur’an berlaku umum untuk setiap masa dan
generasi, karena itu menjadi kewajiban setiap orang, baik yang pandai ataupun
yang bodoh untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Menurutnya, ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini
kecuali melalui pembuktian logika, dan ada pula yang sukar dipahami dengan akal
tetapi tidak bertentangan dengan akal, sehingga walaupun wahyu harus dipahami
dengan akal, namun kita harus tetap mengakui keterbatasan akal. Oleh karena
itu, manusia membutuhkan bimbingan Nabi SAW, khususnya dalam banyak persoalan
metafisika atau dalam beberapa masalah maupun ibadah (Shihab, 2006: 20-21).
Muhammad
Abduh adalah tokoh utama corak penafsiran adabi ijtima’i, yaitu
corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi
ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang
indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Alqur’an bagi kehidupan, serta
menghubungkan ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin
ilmu, kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan. Adapun ciri-ciri
penafsiran Muhammad Abduh adalah:
a. Memandang setiap surat sabagai
satu kesatuan ayat-ayat yang serasi; pengertian satu kata atau kalimat harus
berkaitan erat dengan tujuan surat secara keseluruhan.
b. Ayat Al-Qur’an bersifat umum;
petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa
dan tidak hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu.
c. Al-Qur’an adalah sumber akidah dan
hukum.
d. Penggunaan akal secara luas dalam
memahami ayat-ayat Al-qur’an (Shihab, 2006: 24-32).
Karya-karya
Muhammad Abduh di bidang tafsir Al-Qur’an ialah; Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Surah
Al-‘Ashr, Tafsir Ayat-ayat Surah An-Nisa’ ayat 77-dan 87, Al-Hajj ayat 52-54,
Al-Ahzab ayat 37, dan Tafsir Al-Qur’an dari Al-Fatihah sampai dengan An-Nisa’
ayat 129 (Shihab, 2006: 17-18). Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an tersebut tidak
ditulis langsung oleh Muhammad Abduh, melainkan ditulis oleh muridnya, yaitu
Muhammad Rasyid Ridha. Atas desakan muridnya itu ia memberikan
kuliah mengenai tafsir Al-Qur’an di Al-Azhar mulai tahun 1899 dan selalu
dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan sang guru dicatat oleh
muridnya, dan untuk selanjutnya ditulis dalam karangan yang teratur. Apa yang
telah ditulis murid selanjutnya diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa.
Setelah mendapatkan peretujuan dari sang guru kemudian disiarkan dalam
majalah Al-Manar. Dengan demikian maka timbullah Tafsir
Al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah-kuliah tafsir sampai ia
meninggal tahun 1905. Setelah sang guru meninggal, Muhammad Rasyid Ridha
meneruskan penulisan tafsir sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan sang
guru (Nasution, 1996: 71).
4. Politik
Pada
usia 23 tahun, Muhammad Abduh berkenalan dengan Al-Afghani, dan darinya ia
belajar melihat agama dan ajaran Islam dengan pandangan baru yang berbeda dari
apa yang telah dipahami sebelumnya. Oleh Al-Afghani ia dperkenalkan dengan
karya-karya penulis barat yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan
diperkenalkan pula dengan masalah-masalah sosial dan politik yang tengah
dihadapi oleh masyarakat Mesir serta ummat Islam pada umumnya. Pada tahun 1880
Muhammad Abduh diangkat menjadi pemimpin majalah resmi Al-Waqa’i
Al-Mishriyyah, yang di bawah pimpinannya berubah menjadi corong Partai
Liberal (Sjadzali, 1993: 120). Keterlibatannya dalam pemberontakan ‘Urabi Pasya
menyebabkan dia diasingkan dari Mesir pada tahun 1882. Pengasingan itu
menyebabkan terhentinya karir sebagai guru, tetapi dari tempat pengasingannya
di Paris, semangatnya melancarkan kegiatan politik dan dakwah kian bertambah,
bukan hanya ditujukan kepada masyarakat Mesir tetapi kepada penganut Islam di
dunia. Bersama-sama dengan Al-Afghani ia menerbitkan majalah dan membentuk
gerakan yang disebut dengan Al-‘Urwat Al-Wutsqa. Ide yang di
sebarkan gerakan tersebut tetap sama, yaitu mengobarkan
semangat ummat Islam untuk bangkit melawan kekuasaan Barat (Lubis,
1993: 116).
Menurut
Muhammad Abduh organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh
ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah
dalam komunitas. Kontribusi Muhammad Abduh untuk reformasi terlihat dalam
perannya sebagai ahli fikih dan Hakim Agama Senior (Mufti Agung).
Dia memperluas ruang ijtihad,mengajarkan bahwa moralitas dan hukum
harus disesuaikan dengan kondisi modern demi kemaslahatan bersama (Black, 2006:
550-551). Islam tidak mengenal otoritas final, selain otoritas Allah dan Nabi.
Syari’at menggariskan hak maupun batasan bagi otoritas tertinggi dalam Islam,
seperti penguasa, entah itu khalifah ataupun sultan. Peranan penguasa ini berbeda
dengan peran qadhi (hakim). Sultan melaksanakan apa yang diputuskan benar dan
adil oleh qadhi. Jika tak ada kekuasaan untuk melaksanakan keadilan dan
keputusan qadhi, maka tak ada kearifan dalam perundang-undangan
Penguasa berhak untuk ditaati selama dia berpegang pada kebenaran
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, namun tidak ada ketaatan kepada orang yang
durhaka terhadap Allah. Kaum muslimin berhak mengontrol dan terus menerus
menilai penguasa, juga menuntut pertanggungjawabannya. Jika ia menyimpang dari
jalan kebenaran, maka harus diganti. Ummat yang mengangkatnya, dan ummat punya
otoritas atas dirinya. Khalifah atau sultan merupakan penguasa sipil yang
wilayahnya bukanlah teokrasi. Tugas kaum muslimin adalah memberi nasihat kepada
penguasa berdasar pada ajaran Islam seperti majelis syura. Siap
atau tidaknya orang untuk menerapkan metode syura bukan
ditentukan oleh terlatihnya mereka dalam meneliti, berpikir atau terlatihnya
mereka dalam prinsip-prinsip berdebat, tetapi cukup dengan mengupayakan
kebenaran dan adanya sistem yang memperhatikan kepentingan publik. Jangan
berkhayal bahwa peraturan dan hukum yang adil bisa didasarkan pada model asing.
Ada peraturan dan hukum yang cocok bagi sebagian orang, tetapi tidak cocok bagi
sebagian yang lain. Oleh karena itu, mereka yang membuat peraturan dan hukum,
janganlah mengakomodasi hukum asing, tetapi mereka harus memikirkan kondisi
masyarakat dan watak khasnya. (Rahnema, 1998: 61-62).
5. Pendidikan
Ide-ide
pembaharuan adalam bidang pendidikan yang diajukan Muhammad Abduh
dilatarbelakangi situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu.
Pemikiran statis, taqlid, bid’ah, dan khurafatmenjadi
ciri dunia Islam pada saat itu. Demikian pula halnya yang terjadi di Mesir.
Kejumudan telah merambah ke berbagi bidang dan sistem kehidupan masyarakat. Kejumudan
dalam bidang-bidang kehidupan itu tampak saling terkait dan saling mempengaruhi
antara bidang kehidupan yang satu dengan bidang kehidupan yang lain, terutama
bidang akidah terlihat sangat mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang lain
(Lubis, 1993: 152-153). Program pembaharuan pendidikan yang diajukannya adalah;
memahami dan menggunakan ajaran Islam dengan benar, sebagai salah satu fondasi
utama untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah-sekoalah
modern yang didirikan oleh misionaris asing, juga mengkritik sekolah-sekolah
yang didirikan pemerintah. Menurutnya, di sekolah-sekolah misionaris yang
didirikan bangsa asing (al-madrasah al-ajnabiyyah) siswa dipaksa untuk
mempelajari kristen, sementara itu di sekolah-sekolah pemerintah, siswa tidak
diajar agama sama sekali (Rahnema, 1998: 97). Sementara sekolah-sekolah
pemerintah tampil dengan kurikulum barat sepenuhnya, tanpa memasukkan agama ke
dalam kurikulumnya, pada sisi yang lain sekolah-sekolah agama tidak memberikan
kurikulum modern (Barat) sama sekali. Pendidikan agama kala itu tidak
mementingkan perkembangan intelektual sama sekali, padahal Islam mengajarkan
untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejajar dengan aspek jiwa yang lain.
Antara tipe sekolah modern yang dibangun oleh pemerintah dan misionaris,
dengan tipe sekolah agama di mana Al-Azhar sebagai pendidikan tertingginya,
tidak mempunyai hubungan sama sekali antara yang satu dengan yang lain (Lubis,
1993: 153-154).
Dualisme
pendidikan sebagaimana tersebut di atas, melahirkan dua kelas sosial dengan dua
spirit yang berbeda. Tipe sekolah modern menghasilkan kelas elit generasi muda
dengan pengetahuan modern tanpa pengetahuan agama, sedangkan tipe sekolah agama
menghasilkan ulama-ulama yang tidak berpengetahuan modern. Pola pemikiran pada
sekolah tipe pertama akan membahayakan dan mengancam sendi-sendi agama dan
moral, sementara itu mempertahankan pola pemikiran pada sekolah tipe kedua
hanya akan menyebabkan ummat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus
kehidupan dan pemikiran modern. Dengan memperkuat pendidikana agama di
sekolah-sekolah modern dan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam
sekolah-sekolah agama, jurang yang memisahkan golongan ahli ilmu modern dari
golongan ulama akan dapat diperkecil (Nasution, 1996: 67).
Tujuan
pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan pendidikan yang
luas, yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif).
Aspek kognitif untuk menanamkan kebiasaan berfikir, dan dapat
membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang
membawa mudharat. Aspek afektif untuk menanamkan akhlak yang
mulia dan jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkan moral yang
tinggi akan terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencermnkan kerendahan moral
dapat terhapuskan. Dengan tujuan pendidikan yang demikian, Muhammad Abduh
menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang mempunyai struktur
jiwa yang seimbang, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi
juga memiliki kecerdasan spiritual. Ia berkeyakinan jika akal dicerdaskan dan
jiwa dididik dengan akhlak agama, maka ummat Islam akan dapat berpacu dengan
Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka dalam
kebudayaan (Lubis, 1993: 156).
Dalam
metode pengjaran, Muhammad Abduh membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat
itu. Ia mengkritik tajam metode yang hanya menonjolkan hafalan tanpa pengertian
yang pada umumnya diterapkan di sekolah-sekolah. Walaupun tidak menjelaskan
dalam tulisan-tilisannya, dari apa yang dipraktekkan ketika mengajar di
Al-Azhar, tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk memberikan
pengertian yang mendalam kepada murid. Ia menekankan pentingnya memberikan
pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan, dan memperingatkan para
pendidik agar tidak menonjolkan hafalan, karena metode yang demikian menurutnya
hanya akan merusak daya nalar (Lubis, 1993: 159-160).
6. Peranan Wanita
Untuk
kepentingan pembaharuan sosial, Muhammad Abduh menyerukan supaya syari’at
direvisi agar lebih sesuai dengan tuntutan dunia modern. Pembaharuan yang
berkenaan dengan peranan dan kedudukan wanita perlu dilakukan. Di dalam Islam
terdapat ajaran tentang kesetaraan gender. Pria dan wanita punya
hak dan kewajiban yang sama, mereka juga memiliki nalar dan perasaan yang sama.
Antara pria dan wanita terdapat hak dan kewajiban terhadap satu sama lainnya,
memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang sama terhadap Allah, sama-sama punya
kewajiban dan tanggung jawab iman dan Islam, dan sama-sama diseru untuk
menuntut ilmu (Rahnema, 1998: 63-64). Terkait dengan masalah pendidikan,
sebagaimana kesejajaran wanita dan pria dalam hal keampunan dan pahala dari
Allah atas perbuatan yang sama, maka wanita juga berhak mendapatkan pendidikan,
seperti hak yang didapatkan lelaki. Wanita harus dilepaskan dari rantai
kebodohan, dan yang demikian ini hanya mungkin dengan memberikan mereka pendidikan
(Lubis, 1993: 160).
Mengenai
pengelolaan keluarga, pria lebih patut jadi pemimpin, karena pria itu kuat dan
pria bertanggung jawab memberikan nafkah kepada keluarganya. Menurut ketentuan
hukum, suami bertanggung jawab melindungi dan menafkahi isterinya, dan isteri
mentaati suami. Hal ini bukan berarti bahwa wanita dapat dipaksa, wanita dan
pria punya fungsi komplementer. Wanita untuk pria dan pria untuk wanita,
seperti halnya organ tubuh, pria adalah kepalanya dan wanita adalah badannya. Muhammad
Abduh berpendapat, jika wanita mempunyai kualitas memimpin dan kualitas membuat
keputusan, maka keunggulan pria tidak berlaku lagi. Muhammad Abduh juga
termasuk pendukung monogami, menurutnya praktik poligami yang
ada di awal Islam itu, tidak boleh ada lagi di dunia modern ini, karena
itu poligami harus dilarang. Nabi dan para sahabat itu sangat
adil, namun hal ini mustahil bagi manusia lainnya. Kendati syari’at membolehkan
beristeri empat, jika memang mampu dan bisa berlaku adil, namun dalam analisis
akhirnya, mustahil manusia bisa berlaku adil. Jika seseorang benar-benar
memahami betapa sulitnya berlaku sama, maka dia akan sadar bahwa mustahil untuk
beristeri lebih dari satu. Sementara itu, dia juga berpendapat bahwa keputusan
cerai harus dilepaskan dari otoritas suami, dan menempatkannya di bawah
yurisdiksi dan kepakaran qadhi. Dia bahkan merumuskan hukum yang
memberikan kepada wanita hak untuk minta cerai karena kondisi tertentu, seperti
suami tak bertanggung jawab terhadap isteri, perlakuan kasar atau kata-kata
yang tak pantas, atau jika terus menerus bertikai yang tidak mungkin ada
penyelesaiannya (Rahnema, 1998: 64-66).
7. Telaah Kritis Tentang Pembaharuan
dan Pemikiran Muhammad Abduh
Ada
beberapa hal yang perlu dicermati dan ditelaah secara kritis dari konsep-konsep
pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh. Konsep-konsep pembaharuan dan
pemikiran yang perlu disikapi secara kritis itu antara lain;
a. Rasionalitas atau kecenderungan
Muhammad Abduh menonjolkan akal dalam ijtihad maupun penafsiran Al-Qur’an
terkesan agak berlebihan. Hal demikian terlihat jelas antara lain dalam
sikapnya ketika ia menemukan pertentangan antara akal dengan apa yang
diriwayatkan hadits, maka akal yang harus didahulukan, padahal kemutlakan
Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak diragukan lagi, sebagimana
diakui sendiri oleh Muhammad Abduh bahwa Islam tidak mengenal otoritas final
selain otoritas Allah dan Nabi.
b. Dengan semangat perlawanan
terhadap hegemoni Barat dan keinginan mengikis habis kejumudan yang terjadi di
kalangan kaum muslimin, Muhammad Abduh mengajukan konsep pembaharuan pendidikan
yang mencakup pengembangan aspek kognitif (akal) dan
aspek afektif(spiritual) untuk mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkannya, yakni terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang tidak hanya
memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual.
Agaknya dalam hal ini Muhammad Abduh melupakan satu lagi aspek pendidikan,
yaitu aspek psycho motoric (ketrampilan) yang tidak kalah pentingnya dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, sesuai dengan semangat yang
melatarbelakangi konsep pendidikan yang diajukannya.
c. Sebagaimana yang dianjurkan oleh
Islam, Muhammad Abduh sangat menghargai dan memuliakan wanita, namun
penolakannya terhadap poligami terkesan berlebihan. Ia beranggapan
bahwa poligami tidak sesuai dan tidak dapat diterapkan dalam kehidupan
masyarakat modern dengan alasan tidak sesuai dengan prinsip keadilan, sehingga
ia menyerukan bahwa poligami harus dilarang. Dalam hal ini Allah yang
menurunkan ayat tentang kebolehan poligami (QS. An-Nisa: 3), tentu lebih tahu
dan Maha Tahu bahwa hamba-hambaNya tidak akan mampu berlaku adil dalam
pengertian yang sebenar-benarnya sebagaimana keadilanNya, karena hanya ada satu
Yang Maha Adil yakni Dia sendiri. Sementara itu ayat ini (QS. An-Nisa:3) juga
tidak mansukh oleh ayat yang lain. Dengan demikian, keadilan yang
disyaratkan dalam poligami tentu bukan keadilan mutlak sebagaimana keadilannya
Allah, melainkan keadilan menurut ukuran dan kemampuan manusia.
d. Pendapat lain yang bertentangan
dengan pendapat ulama fiqih pada umumnya ialah, pencabutan keputusan cerai dari
otoritas suami dan menempatkannya di bawah yuridiksi dan kepakaran qadhi (hakim).
Agaknya, pemikiran Muhammad Abduh dalam hal ini terlalu dipengaruhi oleh
realitas sosial pada waktu itu, di mana banyak terjadi ketidakadilan dan
penindasan yang diderita oleh kaum wanita, juga sangat mungkin latar belakang
kehidupannya yang memilki dua orang ibu (ayahnya beristeri dua) menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhinya. Hal lain yang mungkin juga berpengaruh
terhadapijtihad-nya dalam hal ini ialah, adanya kritik Barat dan
golongan anti Islam yang menuduh Islam menindas kaum wanita. Muhammad Abduh
berusaha menjawab tuduhan itu dengan menunjukkan keadilan Islam, namun perlu
diingat bahwa ketetapan Allah tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad,
dan ke-Maha AdilanNya tidak akan berkurang dengan ketetapan yang membolehkan
poligami.
e. Harun Nasution menyatakan bahwa
poligami dalam Islam tidak diwajibkan dan juga tidak dianjurkan, tetapi
dibolehkan. Manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan jikalau seorang suami
yang berhasrat sekali mempunyai anak terpaksa harus menceraikan isteri yang
dicintai dan mencintainya agar dapat kawin dengan perempuan lain untuk
mendapatkan keturunan. Suami yang kebutuhan biologisnya tidak terpuaskan oleh
satu orang isteri, dan tidak dibolehkan oleh hukum untuk kawin lagi hingga
mencari kepuasan diluar perkawinan, tidak akan memperoleh kebaikan dan
kebahagiaan. Juga tidak akan mencapai kebaikan dan kebahagiaan, dalam
masyarakat yang jumlah perempuannya lebih banyak dari pada laki-lakinya, kalau
poligami diharamkan (dilarang) (Nasution, 1998: 435). Untuk
pembuktian lebih jauh dalam hal ini, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut
oleh para ahli hukum (faqih) dan ahli ilmu kemasyarakatan.
B. Sayyid Jamal-Al-Din Al-Afghani,
dikenal sebagai Sayyid Jamal-Al-Din Al-Afghani,
(Persia: سید جمال الدین الافغاني) atau Al-Jamal
Asadābādī-Din (Persia: جمال
الدین اسدآبادی), lahir di desa Asadābād dekatHamadān, Iran terdapat sumber Sayyid
Muhammad bin Safdar al-Husayn (1838
- 1897) (Persia: سید محمد بن
صفدر حسینی), umumnya lain mengatakan bahwa Asadabadi sebenarnya lahir di Asadabad, daerah provinsi Kunar diAfganistan,
merupakan aktivis politik, nasionalis Islam, pencetus, perintis Islamisme dan Pan Islamisme pernah bertempat tinggal diAfganistan, Indonesia, Iran, Mesir, dan Kesultanan Ottoman pada abad ke-19. adalah salah satu
pencetus Pan Islamisme, digambarkan sebagai pribadi yang "lebih
memperjuangkan kaum muslim terhadap dominasi politik Barat dibandingkan masalah
teologi ." banyak menulis dalam majalah al-'Urwat
al-Wuthqa
Al-Jamal Asadābādī-Din berusaha memecah tembok eksklusif kaum Muslimin dan membawa mereka memasuki
dunia lebih terbuka. Afghani tetap optimis meskipun menghadapi realitas adanya
kemajemukan bangsa, budaya dan agama. Baginya agama itu sendiri, khususnya
agama rumpun Semitik - Yahudi, Kristen dan Islam - bukan menjadikan faktor
perpecahan. Menurutnya perpecahan hanya terjadi bila dieksploitasi oleh
kepentingan-kepentingan semata, orang yang berkepentingan. menurut Jamal al-Din
perpecahan di kalangan penganut agama lebih banyak dicetuskan oleh para pedagang agama, Merekalah yang menimbulkan isu perselisihan dan memperniagakannya
di warung agama masing-masing untuk mengambil keuntungan peribadi.
Jamaluddin
al-Afghani dilahirkan di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistan,
pada tahun 1838 (1254 H). Al-afghani menghabiskan masa kecilnya di
Afghanistan, namun banyak berjuang di Mesir, India bahkan Perancis. Pada usia
18 tahun di Kabul, Jamaluddin tidak hanya menguasai ilmu keagamaan tetapi juga
mendalami filsafah, hukum, sejarah, metafisika, kedokteran, sains, astronomi
dan astrologi.
Jamaluddin al-Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada
akhir abad ke -19. Sayyid Sand adalah ayah Afghani, yang dikenal dengan
gelar Shadar Al-Husaini. Ia tergolong bangsawan terhormat dan mempunyai
hubungan nasab dengan Hussein Ibn Ali r.a., dari pihak Ali At-Tirmizi, seorang
perawi hadits. Oleh karena itu, di depan nama Jamaluddin al-Afghani diberi
title “Sayyid”. Afghani melanjutkan belajar ke India selama satu tahun. Di
india Afghani menekuni sejumlah ilmu pengetahuan melalui metode modern.
Didorong keyakinannya, ia melanglang buana ke berbagai negara. Dari India,
Jamaluddin melanjutkan perjalanan ke mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sepulangnya ke Kabul ia diminta penguasa Afghanistan Pangeran Dost Muhammad
Khan, untuk membantunya. Tahun 1864,, ia diangkat menjadi penasehat Sher Ali
Khan, dan beberapa tahun kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri oleh
Muhammad A’zam Khan. Namun karena campur tangan Inggris, Jamaluddin akhirnya
meninggalkan Kabul ke Mekkah. Inggris menilai Jamaluddin sebagai tokoh
berbahaya karena ide-ide pembaharuannya, terus mengawasinya.
Ø
Pemikiran – Pemikiran
Jamaluddin al-Afghani
Pada saat kembalinya Jamaluddin ke India untuk kedua kalinya setelah pergi
meninggalkan Mesir karena ketidaksenangan Inggris yang telah menghasut kaum
teolog untuk melawan jamaluddin atas kegiatan-kegiatan Jamaluddin yang menyebabkan
banyaknya orang kristen yang masuk Islam. Di sini, ia menuliskan risalah yang
sangat terkenal, Pembuktian Kesalahan Kaum Materialis, risalah
ini menimbulkan gejolak besar kalangan materialis.
Jamaluddin al- Afghani pernah menerbitkan jurnal Al-Urwat-Al-Wuthqa yang
mengecam keras Barat. Jurnal tersebut juga dikenal sebagai jurnal anti
penjajahan, yang diterbitkan di Paris. Jurnal ini segera menjadi barometer
perlawanan imperialisme dunia Islam yang merekam komentar, opini, dan analisis
bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan barat yang
penasaran dan kagum dengan kecermelangan Afghani.
Pada tahun 1889, al-Afhgani diundang ke Persia untuk suatu urusan
persengketaan politik antara Persia dengan Rusia. Bersamaan dengan itu
al-Afghani melihat ketidakberesan politik dalam negeri Persia sendiri.
Karenanya, ia menganjurkan perombakan sistem politik yang masih otokratis.
Dan beberapa kontribusi al-Afghani yang lain adalah perlawanan terhadap
kolonial barat yang menjajah negeri-negeri Islam (terutama terhadap penjajah
Inggris). Kemudian upaya melawan pemikiran naturalisme India, yang mengingkari
adanya hakikat ketuhanan. Menurutnya dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang
menggelora dan hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan tanpa
mempertimbangkan kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Hal
ini dikarenakan adanya pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa
materi mampu membuka pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia
sebagai hamba Tuhan. Dari situlah al-Afghani berusaha menghancurkan pemikiran
ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu memperbaiki kehidupan masyarakat
dengan syari’at san ajaran-ajarannya.
Afghani juga mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah,
yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan
kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni
seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa
disebut salaf (pendahulu) yang saleh.
Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam, serta pengembalian
keutuhan umat Islam, Afghani menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang
mempersatukan seluruh umat Islam (Jami’ah islamiyah) atau Pan-Islamisme.
Menurut Afghani, asosiasi politik itu harus meliputi seluruh umat Islam dari
segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam negara-negara yang merdeka,
termasuk Persia, maupun mereka yang masih merupakan rakyat jajahan. Ikatan
tersebut, yang didasarkan atas solidaritas akidah Islam, bertujuan membina
kesetiakawanan dan pesatuan umat Islam dalam perjuangan; pertama,
menentang tiap sistem pemerintahan yang dispotik atau sewenang-wenang, dan
menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti
yang diajarkan Islam, hal mana juga berarti menentang sistem pemerintahan
Utsmaniyah yang absolut itu. Kedua, menentang kolonialisme dan
dominasi Barat.
Menurut Afghani, dalam ikatan itu eksistensi dan kemandirian masing-masing
negara anggota tetap diakui dan dihormati, sedangkan kedudukan para kepala
negaranya, apa pun gelarnya, tetap sama dan sederajat antara satu dengan yang
lain, tanpa ada satu pun dari mereka yang lebih ditinggikan.
Afghani mendiagnose penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah tidak adanya
keadilan dan syura (dewan) serta tidak setianya pemerintah pada konstitusi
dikarenakan pemerintahan yang sewenang-wenang (despotik), inilah alasan mengapa
pemikir di negara-negara Islam di timur tidak bisa mencerahkan masyarakat
tentang inti sari dan kebaikan dari pemerintahan republik. Pemerintahan
republik, merupakan sumber dari kebahagiaan dan kebanggaan. Mereka yang diatur
oleh pemerintahan republik sendirilah yang layak untuk disebut manusia; karena
suatu manusia yang sesungguhnya hanya diatur oleh hukum yang didasari oleh
keadilan dan mengatur gerakan, tindakan, transaksi dan hubungan dengan orang
yang lain yang dapat mengangkat masyarakat ke puncak kebahagiaan. Bagi Afghani,
pemerintah rakyat adalah “pemerintahan yang terbatas”, pemerintahan yang yang
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan karenanya merupakan lawan
dari pemerintahan absolut. Merupakan suatu pemerintah yang berkonsultasi dalam
mengatur, membebaskan dari beban yang diletakkan pemerintahan despotik dan
mengangkat dari keadaan membusuk ke tingkat kesempurnaan.
Beberapa Ajarannya
1. Bidang politik
Jamaluddin al-Afghani
oleh penulis Barat dikatakan sebagai pelopor “Pan Islamisme” yang mengajarkan
bahwa semua umat Islam harus bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah untuk
membebaskan mereka dari penjajahan Barat. Yakni sebagai jaminan keemasan Islam
dahulu sebelum Islam menjadi lemah karena perpecahan yang tak putusnya dan
tanah air Islam menjadi terjerumus kebodohan dan kelemahan, hingga jatuh
menjadi mangsa kekuasaan Barat.
Muhammad Ibnu Abdul
Wahab dalam perjuangannya menuju kepada perbaikan aqidah. Maka jalan yang
ditempuh oleh Jamaluddin al-Afghani ialah :
a)
Perbaikan jiwa dan cara berpikir.
b)
Perbaikan pemerintah / negara, kemudian keduanya berhubungan mempunyai jalinan
dengan ajaran agama.
Semua aspek gerakan
Jamaluddin al-Afghani yang menjadi sasaran utama ialah membebaskan negara Islam
dari penjajahan dan untuk menuju itu umat Islam harus membebaskan diri dari
pola-pola pikiran yang beku. Untuk mencairkan ini menurut Jamaluddin
al-Afghani, orang-orang Islam harus mempunyai kepandaian teknis dalam rangka
kemajuan barat, wajib belajar secara rahasia kelemahan orang Eropa.
2. Bidang Agama
Jamaluddin al-Afghani
walaupun menjadi seorang pemimpin politik, di mana dipandang dari sudut
gerakannya menunjukkan kecondongan dibidang politik, namun tidak dapat
dilupakan jasanya dalam meninggikan kedudukan agama, pembaharu akal umat Islam
yang dipengaruhi tradisi dan khurafat yang membawa kejumudan umat Islam.
Jamaluddin al-Afghani dalam usahanya menentang penjajahan Barat, maka jalan
yang ditempuhnya untuk menghadapi penjajahan ini membangunkan kembali jiwa
Islam, menghilangkan sifat kesukuan / golongan dan mengikis taqlid dan
fanatisme serta melaksanakan ijtihad dalam memahami a-Qur’an, hidup layak dan
penuh kebijaksanaan di kalangan umat Islam.
Oleh karena itu
Jamaluddin al-Afghani berpendapat, bahwa kesejahteraan umat Islam tergantung
pada:
a)
Akal manusia harus disinari dengan tauhid, membersihkan jiwanya dari
kepercayaan tahayul.
b) Orang
harus merasa dirinya dapat mencapai kemuliaan budi pekerti yang utama.
c)
Orang harus menjadikan aqidah, sehingga prinsip yang pertama dan dasar keimanan
harus diikuti dengan dalil dan tidaklah keimanan yang hanya ikutan semata
(taqlid).
3. Ajarannya tentang
Qada dan Qodar
Jamaluddin al-Afghani
adalah seorang muslim sejati dan seorang rasionalis dan ia menuntut kepada
semua aliran untuk menjadikan akal sebagai dasar utama untuk mencapai keagungan
Islam, karena akal menempati kedudukan istimewa dalam dunia Islam. Jamaluddin
al-Afghani sebagai seorang yang bersemangat menjunjung tinggi kedudukan akal,
mendukung aliran Mu’tazilah yang mempunyai doktrin tentang pembahasan diri dari
ajaran takdir yang orang barat disebut Fatalisme.
Mengenai hal ini menurut
Jamaluddin al-Afghani, adapun yang dikatakan qada dan qodar yang dikatakan
“predestination” dalam bahasa Inggris sebagai tujuan permulaan. Menurut al-Jabr
(fatalism), qada dan qodar adalah penyerahan diri secara mutlak tanpa usaha dan
ini suatu ajaran baru (bid’ah) dalam agama yang dimasukkan dalam ajaran Islam
oleh musuh Islam untuk suatu tujuan politik tertentu agar Islam hancur dari
dalam.
Jamaluddin al-Afghani
sebagai orang Islam mengakui bahwa kepercayaan asasi. Tidak ada kepercayaan
kepada takdir adalah kehilangan salah satu tonggak dari iman. Kepercayaan
inilah yang menyebabkan umat Islam jaman dahulu, nabi-nabi dan sahabatnya dan
salafus shalihin dapat merebut dunia dan mengaturnya. Menurut dia, timbulnya
kerusakan di kalangan muslim antara lain: dari kepercayaan al-Jabr ini dan
kesalahan dalam memahami qada dan qodar, sehingga memalingkan jiwa umat dari
bersungguh-sungguh dalam usaha dan umat Islam di masa silam bersifat dinamis.
4. Penolakannya terhadap
aliran naturalisme dan materialisme
Perjalanan hidup
Jamaluddin al-Afghani sesuai dengan jalan fikirannya. Teori dan prakteknya
selalu berjalin rapat dengan tindakannya. Kedudukan dan perilakunya ditandai
oleh 3 macam keadaan :
a)
Kenikmatan jiwa / rohani.
b)
Perasaan agama yang mendalam.
c)
Moral yang tinggi, ke semua ini sangat berkesan dan mempengaruhi semua
usahanya.
Gambaran ini jelas dapat
dilihat dalam penolakannya terhadap aliran naturalisme dan materialisme.
Jamaluddin al-Afghani memandang bahwa cara penjajahan Barat di negeri Islam
membawa gambaran yang berbeda untuk menghancurkan kepribadian tiap-tiap orang
Islam yang bersumber dari ajaran al-Qur’an. Ajaran ini mempunyai kekuatan untuk
menjalin kekuatan kesatuan di kalangan kaum muslimin. Ia memperingatkan segala
gambaran yang dilihatnya itu diantaranya : usaha untuk merusak aqidah orang
Islam baik dengan cara memecah belahnya maupun dengan usaha memalingkannya dari
ajaran agama, yang berusaha demikian di antaranya aliran naturalisme dan
materialisme.
Naturalisme yaitu hal
atau tinjauan berdasarkan alam. Sedangkan materialisme adalah orang yang hanya
mementingkan kebendaan di atas segala-galanya. Jamaluddin sangat menentang
aliran naturalis (ateis) yang tersebar luas di India, 1879. Tentang aliran ini
Jamaluddin berkata “Aliran ini akan membelah kaum muslimin menjadi 2 kelompok;
kelompok lama dan baru, kelompok yang tunduk kepada penjajah dan kelompok
oposisi. Aliran ini juga akan memecah hubungan umat Islam India dari
kekhalifahan Utsmani di sisi lain”.
Jamaluddin melihat
berbagai bentuk yang dilakukan penjajahan Barat di negara Islam untuk merusak
kepribadian Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan menyatukan umat Islam dalam
satu ikatan. Sedangkan bentuk yang paling berbahaya ialah berusaha merusak
akidah dari hatinya. Maka aliran naturalisme dan materialisme – yang di India
dikenal sebutan kaum ateis – di anggap sebagai senjata melawan kekuatan umat
Islam yang sumbernya agama. Menurut Jamaluddin, bahaya aliran ini, orang yang
mempropagandakannya di India memakai “pakaian muslim” untuk melemahkan aqidah
kaum muslim.
Ada tiga hal penolakan
Jamaluddin terhadap kaum ateis yaitu: tentang pentingnya agama bagi masyarakat,
bahaya aliran ateis dalam masyarakat, dan keunggulan agama Islam sebagai suatu
agama dan akidah di atas agama-agama lain. Jamaluddin berpendapat, keyakinan
agama sebagai suatu akidah menjamin 3 unsur penting bagi masyarakat : rasa
malu, jujur dan setia. Ia menerangkan, ketiga unsur tersebut amatlah penting
bagi masyarakat yang jujur, yang tidak dimiliki oleh ajaran ateisme. Ia berkata
demikian: “Sesungguhnya keyakinan seorang ateis tidak dapat bersatu dengan
keutamaan sifat jujur, setia, kepahlawanan dan kesatriaan. Itu disebabkan,
manusia memiliki syahwat yang tidak terbatas, sedangkan alam (nature) tidak memberikan
cara-cara terbentuk untuk mencapai syahwat itu”.
Sedangkan bahaya aliran
materialisme dan naturalisme terhadap masyarakat diterangkan Jamaluddin dengan
menyebutkan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang telah dikuasai oleh
aliran di atas, dahulu dan sekarang. Jamaluddin menerangkan aliran naturalis
menampakkan diri dalam beberapa bentuk, seperti :
a)
Aliran Epikorus dalam masyarakat Greek (Yunani)
b)
Aliran Mozdak dalam masyarakat Persi
c)
Aliran kebatinan (mistik) dalam masyarakat Islam
d)
Aliran Voltaire dan Rousseau dalam masyarakat Prancis
e) Aliran
era modern di Turki
f)
Aliran Komunisme, nasionalisme dan sosialisme di Eropa dan Rusia
g)
Aliran Mourman di Amerika.
Pengaruh Ajarannya
Ajaran Jamaluddin
al-Afghani berpengaruh besar sekali terutama di Mesir, baik pada generasi muda
(pelajar) dan sebagian ulama Azhar misalnya M. Abdul Karim Salman, Syeikh
Ibrahim Allaqani, Syeikh Saad Zaqlul, pengaruh dari tokoh pembaharuan dalam
Islam ini kita melihat dari Turki ketika Inggris menduduki Mesir tahun 1882,
Jamaluddin al-Afghani serta merta di usir. Kemudian melanjutkan ke
Konstatinopel, dan ia mendapat perlindungan dari Abdul Hamid, lalu
membentangkan politik Pan Islamisme.
Sebab-Sebab Kemunduran Umat Islam
a)
Umat Islam mundur, karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya
mengikuti ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam.
b)
Salah pengertian tentang maksud hadits yang mengatakan bahwa umat Islam akan
mengalami kemunduran di akhir zaman. Salah pengertian ini membuat umat Islam
tidak berusaha merubah nasib mereka.
c) Perpecahan
yang terdapat di kalangan umat Islam, pemerintahan absolut, mempercayakan
pimpinan umat kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya, mengabaikan
masalah pertahanan militer, menyerahkan administrasi negara kepada orang-orang
tidak kompeten dan intervensi asing (bersifat politis).
d)
Lemahnya rasa persaudaraan Islam
Pembaharuan
a)
Melenyapkan pengertian salah yang dianut umat Islam pada umumnya dan kembali
pada ajaran dasar Islam yang sebenarnya, hati disucikan, budi pekerti luhur
dihidupkan kembali dan kesediaan berkorban untuk kepentingan umat.
b)
Corak pemerintahan otokrasi harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi.
c) Persatuan umat Islam mesti diwujudkan kembali. Dengan
bersatu dan mengadakan kerjasama yang erat.
GERAKAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI
- Gerakan
Pembaharuan Islam di abad Modern
Pada masa itu, bukanlah
seorang hakim yang dibutuhkan, karena seorang hakim pada masa itu tidak bisa
lepas dari pesanan dan intervensi pemerintah. Dan pada masa itu, bukan pula
seorang faqih yang dibutuhkan untuk memperbarui hukum-hukum Islam klasik. Andaipun
mereka hidup pada masa itu, maka keberadaan merekapun juga tidak mampu untuk
mengubah keadaan yang ada. Sesungguhnya yang dibutuhkan pada masa itu adalah
seorang revolusioner islamis seperti yang terdapat dalam jiwa Jamaluddin
al-Afghani.
Afghani memang bukan
seorang hakim, tapi dia punya syarat dan kapabilitas untuk menjadi seorang
hakim dan diapun bukan seorang faqih yang menguasai dunia literatur fiqh,
walaupun dia bukan pula orang yang buta dan taklid dalam berfiqih. Tetapi dia
adalah seorang revolusioner islamis, seorang penggugah dalam tidur yang
berkepanjangan, seorang pengilham bagi jiwa-jiwa pesimisme. Dengan jiwa
revolusinya dan kepribadian Islam nya membuat dia mampu untuk menunutun
bangsanya untuk bersama-sama menghadapi dua problematika dasar pada masa itu.
Pertama, penjajahan dari luar dan kedua, adalah otoritarianisme pemerintahan
dari dalam. Dan dengan tegas dia katakan bahwa dua hal ini bisa hilang bukanlah
sebuah kemungkinan, namun sebuah keharusan yang bisa tercapai bila kaum dan bangsanya
mempercayainya.
Dan dengung
pembaharuannya pun bisa mempengaruhi semua kalangan hingga pada kalangan yang
berpautan jauh dari zaman nya seperti Ahmad Luthfi Sayyid maupun Qasim Amin.
Adapun Mesir sebagai negara satu-satunya yang lama dia berdomisili berhasil
melahirkan adanya kebangkitan pemikiran, kebangkitan jurnalistik dan
kebangkitan politik di negeri tersebut. Dan dialah orang pertama kali yang
mengatakan bahwa “Misr lilmasriyyin” dan perintis pertama “Hizb Wathan” hingga
dengan gerakan pembaharuannya berhasil melahirkan tuntutan adanya undang-undang
negara dan pembentukan majelis perwakilan. Dan ini semua telah tercapai dengan
hasil yang tidak sedikit, bahkan jika saja intervensi Inggris yang dimotori
oleh Khadevi tidak turut serta, maka gerakan ini pun bisa mencapai pada
kemerdekaan Mesir pada saat itu.
Dan suatu kelebihan dari
diri Afghani ialah kemampuanya untuk menghentak kesadaran Bangsa Mesir saat itu
untuk secara kesuluruhan sadar kembali dalam menghadapi cengkraman penjajahan
Eropa dalam kepemimpinan Ratu Victoria. Adapun perjuangan Afghani dibagi dalam
dua tahap, merombak sistem yang ada saat itu dan membangun kembali sistem yang
baru. Dalam tahap pertama di lakukan dengan cara melawan penjajahan dari luar
dan mengecam diktatorisme pemerintahan dari dalam. Adapun tahap kedua, dia
sadar bahwa ini memerlukan waktu yang lama, adapun pelaksanaan pada tahap ini
dilakukan oleh para pembaharu-pembaharu selanjutnya yang hidup pada masa
sesudah meninggalnya Jamaluddin al-Afghani. Sepeninggal Afghani muncul beberapa
upaya untuk meragukan kembali perjuangan dan kontribusi Afghani bagi umat Islam
saat itu, namun semua itu mengalami kegagalan dan jauh yang diharapkan.
- Gerakan
Pan Islamisme
Dari sudut pandang ide
secara umum gerakan pembaharuan di Indonesia dipengaruhi secara kuat oleh
pemikiran dan usaha tokoh-tokoh pembaharu Timur Tengah pada akhir abad ke-19,
khususnya Sayid Jamaluddin Al-Afghani dan Sheikh Muhammad Abduh.Kedua tokoh
tersebut menyentakkan umat Islam bahwa kemunduran Islam, karena umatnya telah
meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya. Pemikiran dan usaha mereka bertumpu
pada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sangat mendorong penggunaan akal
sehingga keharusan ijtihad tidak pernah tertutup. Meskipun sikap politik mereka
secara tegas menunjukkan anti Barat karena praktek penjajahan terhadap
negara-negara Islam,Jamaluddin dan Mohammad Abduh memberi dukungan kepada umat
Islam untuk mempelajari pengetahuan yang lebih luas sebagaimana telah dilakukan
lebih dulu oleh sebagian besar negara Barat. Dalam kaitan itulah, mereka
menyerukan penataan sistem kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan pendidikan.
Gerakan Jamaluddin
Al-Afghani dengan Pan Islamismenya mempunyai dua tujuan utama,yaitu membangun
dunia Islam di bawah satu pemerintahan dan mengusir penjajahan dunia Barat atas
dunia Islam (Masyhur Amin, Sejarah Peradaban Islam). Al-Afghani melihat di
antara sebab kemunduran Islam adalah lemahnya persaudaraan antara sesama umat
Islam. Karena itu harus dibangun solidaritas umat Islam sedunia (Pan Islamisme)
sehingga umat Islam berada dalam pemerintahan yang demokratis. Dengan cara
demikian umat Islam akan memperoleh kemerdekaannya kembali dari penjajah
Barat.Tentang dunia Nasrani, Al-Afghani berpendapat sekalipun mereka berlainan
keturunan dan kebangsaan, namun mereka bersatu dalam menghadapi dunia Islam.
Mereka sengaja meng halang-halangi kebangkitan umat Islam. Apa yang dika takan
nasionalisme dan patriotisme serta cinta tanah air bagi Barat, untuk dunia
Islam mereka katakan sebagai fanatisme, ekstremisme dan chauvinisme.Oleh sebab
itu, seru Al-Afghani, Tidak ada jalan lain bagi umat Islam, kecuali bersatu
melawan penjajah Barat tersebut.
Di Indonesia, hampir
berbarengan dengan Gerakan Pan Islam berdiri perkumpulan Jamiatul Kheir di
Pekojan, Batavia, pada 1901 sebagai organiasi sosial yang membawa semangat
tolong menolong. Jamiatul Kheir dibentuk dengan tujuan utama mendirikan satu
model sekolah modern yang terbuka luas untuk umat Islam.
Perkumpulan ini lebih menitikberatkan pada semangat pembaruan melalui lembaga pendidikan modern. Pramudya Ananta Toer dalam bukunya, Rumah Kaca, menyebut Jamiatul Kheir yang didirikan sejak 1901 merupakan organisasi politik yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan yang telah menginspirasi lahirnya Boedi Oetomo.Jamiat Kheir membangun sekolah bukan semata-mata bersifat agama, tapi sekolah dasar biasa dengan kurikulum agama, berhitung,sejarah, ilmu bumi dan bahasa pengantar Melayu. Bahasa Inggris merupakan pelajaran wajib, pengganti bahasa Belanda.Sedangkan pelajaran bahsa Arab sangat ditekankan sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam.
Perkumpulan ini lebih menitikberatkan pada semangat pembaruan melalui lembaga pendidikan modern. Pramudya Ananta Toer dalam bukunya, Rumah Kaca, menyebut Jamiatul Kheir yang didirikan sejak 1901 merupakan organisasi politik yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan yang telah menginspirasi lahirnya Boedi Oetomo.Jamiat Kheir membangun sekolah bukan semata-mata bersifat agama, tapi sekolah dasar biasa dengan kurikulum agama, berhitung,sejarah, ilmu bumi dan bahasa pengantar Melayu. Bahasa Inggris merupakan pelajaran wajib, pengganti bahasa Belanda.Sedangkan pelajaran bahsa Arab sangat ditekankan sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam.
Keberadaan Jamiatul
Kheir yang kemudian disusul dengan Al-Irsyad, setidak-tidaknya sebagai
penggerak dunia Islam baru yang pertama kali di Indonesia. Deliar Noer menulis
pentingnya Jamiat Kheir terletak pada kenyataan bahwa ialah yang memulai
organiasi dalam bentuk modern dalam masyarakat Islam (dengan anggaran dasar,
daftar anggota tercatat,rapat-rapat berkala), dan yang mendirikan sekolah
dengan cara-cara yang banyak sedikitnya telah modern (kurikulum,kelas-kelas,
dan pemakaian bangku-bangku,papan tulis dan sebagainya).Menurut H.Agus Salim
banyak anggota Budi Utomo dan Sarikat Islam sebelumnya adalah anggota Jamiatul
Khair.Dalam kaitan dengan gerakan kemerdekaan,pada 4 Oktober 1934, pemuda
keturunan Arab se Nusantara berkongres di Semarang, dipelopori oleh AR
Baswedan, mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab: Indonesia adalah tanah
airnya, bersumpah untuk turun kelas dari bangsa Timur asing menjadi pribumi.
Kongres itu juga membentuk Persatuan Arab Indonesia (PAI), yang bertujuan meraih kemerdekaan Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, PAI membubarkan diri karena tujuannya telah tercapai. Seperti anak-anak bangsa lainnya mereka lalu menyebar dan aktif dalam berbagai bidang di masyarakat.
Kongres itu juga membentuk Persatuan Arab Indonesia (PAI), yang bertujuan meraih kemerdekaan Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, PAI membubarkan diri karena tujuannya telah tercapai. Seperti anak-anak bangsa lainnya mereka lalu menyebar dan aktif dalam berbagai bidang di masyarakat.
- Tarbiyah
Pemikiran Syaikh Jamaluddin Al-Afghani
Semua orang sepakat
bahwa dialah yang menghembuskan gerakan Islam modern dan mengilhami pembaharuan
di kalangan kaum Muslim yang hidup ditengah-tengah kemodernan. Dia pula yang
pengaruhnya amat besar terhadap gerakan-gerakan pembebasan dan konstitusional
yang dilakukan dinegara-negara Islam setelah zamannya. Ia menggabungkan
ilmu-ilmu tradisional Islamnya dengan berbagai ilmu pengetahauan yang
diperolehnya dari Eropa dan pengetahuan modern.
Afghani mengembangkan
pemikiran (dan gerakan) salafiyah, yakni aliran keagamaan yang berpendirian
bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada
ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama
Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh. Sebenarnya Afghani
bukanlah pemikir Islam yang pertama yang mempelopori aliran salafiyah
(revivalis). Ibnu Taymiyah telah mengajarkan teori yang serupa, begitu pula
Syeikh Mohammd Abdul Wahab pada abad ke-18. Tetapi salafiyah (baru) dari
Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni; Pertama, keyakinan bahwa
kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam
kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup para
sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin. Kedua, perlawanan terhadap
kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Ketiga, pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu dan teknologi,
dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat dalam dua bidang tersebut,
yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh
dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan
ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam. Adapun
alairan-aliran salafiyah sebelum Afghani hanya terdiri dari unsur pertama saja.
Afghani mendiagnose
penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah tidak adanya keadilan dan syura
(dewan) serta tidak setianya pemerintah pada konstitusi dikarenakan
pemerintahan yang sewenang-wenang (despotik), inilah alasan mengapa pemikir di
negara-negara Islam di timur tidak bisa mencerahkan masyarakat tentang inti
sari dan kebaikan dari pemerintahan republik. Pemerintahan republik, merupakan
sumber dari kebahagiaan dan kebanggaan. Mereka yang diatur oleh pemerintahan
republik sendirilah yang layak untuk disebut manusia; karena suatu manusia yang
sesungguhnya hanya diatur oleh hukum yang didasari oleh keadilan dan mengatur
gerakan, tindakan, transaksi dan hubungan dengan orang yang lain yang dapat
mengangkat masyarakat ke puncak kebahagiaan. Bagi Afghani, pemerintah rakyat
adalah “pemerintahan yang terbatas”, pemerintahan yang yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan karenanya merupakan lawan dari
pemerintahan absolut. Merupakan suatu pemerintah yang berkonsultasi dalam
mengatur, membebaskan dari beban yang diletakkan pemerintahan despotik dan
mengangkat dari keadaan membusuk ke tingkat kesempurnaan.
Reformasi atau pembaharuan
dalam bidang politik yang hendak diperjuangkan oleh salafiyah (baru) di
negara-negara Islam adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melaui
dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan (rakyat), pembatasan terhadap
kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-undang, serta
pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik an
sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan an dominasi Barat.
Tujuan utama gerakan
Afghani ialah menyatukan pendapat semua negara-negara Islam dibawah satu
kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah imperium Islam yang kuat dan mampu
berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa. Ia ingin membangunkan kesadaran
mereka akan kejayaan Islam pada masa lampau yang menjadi kuat karena bersatu.
Menyadarkan bahwa kelemahan umat Islam sekarang ini adalah karena mereka
berpecah-belah. Afghani adalah pembaharu muslim pertama yang menggunakan term
Islam dan Barat sebagai dua fenomena yang selalu bertentangan. Sebuah pertentangan
yang justru harus dijadikan patokan berpikir kaum muslim, yaiut untuk
membebaskan kaum muslim dari ketakutan dan eksploitasi yang dilakukan oleh
orang-orang Eropa.
Beberapa buku yang
ditulis oleh Afghani antara lain ; Tatimmat al-bayan (Cairo, 1879). Buku
sejarah politik, sosial dan budaya Afghanistan. Hakikati Madhhabi Naychari wa
Bayani Hali Naychariyan. Pertama kali diterbitkan di Haydarabad-Deccan, 1298
H/1881 M, ini adalah karya intelektual Afghani paling utama yang diterbitkan
selama hidupnya. Merupakan suatu kritik pedas dan penolakan total terhadap
materialisme. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam Arab oleh Muhammad Abduh
dengan judul Al-Radd 'ala al-dahriyyin (Bantahan terhadap Materialisme).
Al-Ta'Liqat 'ala sharh al-Dawwani li'l-'aqa'id al-'adudiyyah (Cairo, 1968).
Berupa catatan Afghani atas komentar Dawwani terhadap buku kalam yang terkenal
dari] Adud al-Din al-'Iji yang berjudul al-‘aqa’id al-‘adudiyyah. Berikutnya
Risalat al-waridat fi sirr al-tajalliyat (Cairo, 1968). Suatu tulisan yang didiktekan
oleh Afghani kepada siswanya Muhammad 'Abduh ketika ia di Mesir. Khatirat Jamal
al-Din al-Afghani al-Husayni (Beirut, 1931). Suatu buku hasil kompilasi oleh
Muhammad Pasha al-Mahzumi wartawan Libanon. Mahzumi hadir dalam kebanyakan
forum pembicaraan Afghani pada bagian akhir dari hidupnya Buku berisi informasi
yang penting tentang gagasan dan hidup Afghani.
Selanjutnya, pemikiran
Afghani, diteruskan dan dikembangkan oleh murid-muridnya yakni Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha. Selanjutnya, pemikiran Islam modern yang mereka kembangkan
bukan hanya pada tingkat wacana, namun ditransformasikan oleh pengikut-pengikut
selanjutnya menjadi gerakan. Dapat dikatakan bahwa gerakan Islam di abad kedua
puluh banyak terpengaruh olehnya dan menjadikannya sumber inspirasi. Pengaruh
tersebut terlihat dalam tokoh dan gerakan-gerakan Islam modern masa kini
seperti Hasan al-Banna
dengan Ikhwanul
Muslimin, Abul A’la al-Maududi dengan Jama’atul Islam dan termasuk Muh Natsir
dengan Masyuminya
PEMIKIRAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI
- Ide
dan Pemikiran Pembaharuan Islam di Abad Modern
Pemikiran
Pembaharuan Al-Afghani ini didasari atas keyakinan bahwa islam adalah agama
yang sesuai untuk semua bangsa, jaman dan keadaan. Dalam pandangannya islam
tidak pernah menganjurkan apalagi memerintahkan untuk statis dan mundur.
Sebaiknya, islam terus mendorong untuk selalu maju.
Al-Afghani melihat kemunduran umat
islam pada masa itu disebabkan oleh beberapa factor yaitu:
- Umat islam dipengaruhi sifat
statis, meninggalkan akhlak tinggi dan melupakan ilmu pengetahuan.
- Adanya paham jabariyah, yaitu
tentang qada dan qadar, sehingga mereka tidak mau berusaha.
- Ada sebuah hadits yang
mengatakan bahwa umat islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman.
- Persaudaraan umat islam sangat
lemah.
- Perpecahan dikalangan umat
islam.
Buku yang diajarkan dan di
diskusikan:
- Al-Zaura’ dalam bidang tasawuf.
- Syah Al-Quthb Al-Syamsiyah
dalam bidang logika.
- Al-Hidayah, Al-Isyarah,
Al-hikmah Al-Isyraq dalam bidang filsafat.
- Tadzirah dalam bidang
astronomi.
B. Pemikiran Politik Islam Jamaluddin
Al-Afghani
Afghani
dibesarkan dibesarkan di Afgahanistan. Pada usia 18 tahun di Kabul, Afghani
tidak hanya menguasai segala cabang ilmu keagamaan, tetapi juga mendalami
falsafah, hukum, sejarah, metafisika, kedokteran, sains, astronomi dan
astrologi. Kemudian pergi ke India dan tinggal disana selama satu tahun sebelum
menunaikan ibadah haji pada tahun 1857. pada waktu itu di India terjadi
pengotakan dramatis antara pembaharu Muslim yang pro-Inggris dan Muslim yang anti-Inggris.
Afghani bersekutu dengan kelompok Muslim tradisionalis untuk menghadapi
kelompok Muslim pro-Inggris. Ia menyadari bahwa kebangkitan dan solidaritas
Islam bisa menjadi senjata untuk melawan Pemerintahan Inggris di bumi Muslim.
Ia mendorong rakyat India untuk bangkit melawan kekuasaan Inggris. Hasilnya
pada tahun 1857 muncul kesadaran baru di kalangan pribumi India untuk melawan
penjajah.
Sekembalinya
ia di Afghanistan ia memasuki dinas pemerintahan Amir Dost Muhamma Khan. Ketia
Amir meninggal dan digantikan oleh Amir Syir Ali, Afghani diangkat menjadi
Menteri. Namun ketika Syir Ali dijatuhkan maka dengan dalih akan menunaikan
ibadah haji lagi pada tahun 1869, Afghani meninggalkan Afghanistan. Dari snilah
awal keterlibatan langsung Afghani dalam gerakan internasional anti
kolonialisme/imperialisme Barat dan despotisme Timur.
Pada
tahun 1871 Afghani tiba di Istambul. Oleh karena masyarakat Istambul sudah
terlebih dahulu mendengar tentang kealiman dan perjuangannya, maka tokoh-tokoh
masyarakat di ibukota kerajaan Usthmaniyah itu menyambutkanya dengan gembira.
Belum lama tinggal di Istambul ia diangkat menjadi anggota Majelis Pendidikan,
dan mulai diundang berceramah di Aya Sofia serta Masjid Ahmadiyah. Popularitas
Afghani ini mengundang kecemburuan Hasan Fahmi, Syaikh al-Islam, dan mufti itu
berhasil memfitnah Afghani dengan materi ceramahnya di muka sejumlah mahasiswa
dan cendekiawan di Dar al-Funun. Karena fitnah ini Afghani memutuskan untuk
pindah ke Kairo.
Di Kairo ia disambut gembira, baik
oleh penguasa maupun oleh ilmuan. Melihat campur tangan Inggris di Mesir, dan
tidak inginnya Inggris melihat Islam bersatu dan kuat, Afghani akhirnya kembali
lagi ke politik. Sebagai langkah taktis atau intrik politik, Afghani bergabung
dengan perkumpulan Free Masonry, suatu organisasi yang disokong oleh kelompok
anti zionis. Dari sini, tahun 1897 terbentuk partai politik bernama Hizb
al-Wathani (Partai Kebangsaan). Slogan partai ini: “Mesir untuk Bangsa Mesir”.
Partai ini antara lain menanamkan kesadaran berbangsa, memperjuangkan
pendidikan universal, kemerdekaanpers, memperjuangkan unsur-unsur Mesir masuk
dalam angkatan bersenjata.
Dengan berdirinya partai ini Afghani
merasa mendapat sokongan untuk berusahan menggulingkan raja Mesir yang berkuasa
waktu itu, yakni Khadewi Ismail yang pemboros, untuk digantikan dengan putera
mahkota Taufiq. Taufiq berjanji akan mengadakan pembaharuan-pembaharuan
sebagaimana yang dituntut Hizb al-Wathani. Tetapi karena kegiatan politik dan
agitasinya yang tajam terhadap campur tangan Inggris dalam negeri Mesir, maka
Taufiq atas tekanan Inggris justru mengusir Afghani keluar dari Mesir pata
tahun 1879.
Dari mesir Afghani dibawa ke India,
ditahan di Haiderabad dan Kalkuta, dan baru dibebaskan setelah pemberontakan
Urabi Pasha di Mesir tahun 1882 berhasil ditumpas. Pada tahun 1883, Afghani
berada di London kemudian pindah ke Paris dan menerbitkan majalah berkala dalam
bahasa Arab Al-Urwah al-Wutqa bersama muridnya Muhammad Abduh yang juga diusir
dari Mesir karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Urabi Pasha yang gagal
itu. Afghani mengembangkan polemik anti Inggrisnya. Ia mulai mengemukakan
argumen yang memperkuat pandangannya bahwa persatuan antar negara Islam dapat
membendung serbuan pihak asing. Karena peredarannya dihalangi oleh penguasa
kolonial, majalah berkala ini hanya berumur 8 bulan setelah terbit sebanyak 18
nomor. Nomor pertama terbit 13 Maret 1884 dan yang terakhir 17 Oktober tahun
yang sama.
Pada tahun 1886, Afghani pergi ke
Teheran. Dari sana ia pergi ke Rusia, kemudian ke Eropa. Tahun 1889 kembali ke
Teheran. Tetapi kemudian Perdana Menteri Mirza Ali Asghar Khan, yang menganggap
kehadiran Afghani sebagai ancaman bagi kedudukannya, berhasil menghasut Syah
Nasirudin supaya tidak percaya lagi kepada Afghani. Pada awal tahun 1891,
Afghani ditangkap dan dibawa ke Khariqin, suatu kota kecil dekat tapal batas
Persia-Turki. Dari sana ia pergi ke London. Kemudian atas undangan Sultan Abdul
Hamid ia datang dan menetap di Istambul, Turki. Afghani wafat pada bulan Maret
1879, karena kanker yang berawal dari dagunya.
C.
K.H. Ahmad Dahlan
Riwayat
Hidup K.H. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan diakui sebagai salah seorang tokoh pembaru dalam pergerakan
Islam Indonesia, antara lain, karena ia mengambil peran dalam mengembangkan
pendidikan Islam dengan pendekatan-pendekatan yang lebih modern. Ia berkepentingan dengan pengembangan pendidikan Islam
masyarakat yang menurutnya tidak sesuai dengan ajaran Al –Qur’an dan Hadits.
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di
Kauman, Yogyakarta, 1 Agustus 1868 adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar.
K.H Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar
Kasultanan Yogyakarta pada masa itu dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah
puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan
Yogyakarta pada masa itu. Dalam sumber lain K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan pada
tahun 1869.
Diwaktu kecil K.H. Ahmad Dahlan
bernama Muhammad Darwis, nama Ahmad Dahlan adalah pergantian setelah berangkat
untuk menunaikan ibadah haji di Makkah. Sebelum mendirikan Persyarikatan
Muhammadiyah, beliau bergabung sebagai anggota Boedi Oetomo yang merupakan
organisasi kepemudaan pertama di Indonesia.
Dengan kedalaman ilmu agama dan
ketekunannya dalam mengikuti gagasan-gagasan pembaharuan Islam, K.H. Ahmad
Dahlan kemudian aktif menyebarkan gagasan pembaharuan Islam ke pelosok-pelosok
tanah air sambil berdagang batik. K.H. Ahmad Dahlan melakukan tabliah dan
diskusi keagamaan sehingga atas desakan para muridnya pada tanggal 18 November
1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Disamping aktif di
Muhammadiyah beliau juga aktif di partai politik. Seperti Budi Utomo dan
Sarikat Islam. Hampir seluruh hidupnya digunakan utnuk beramal demi kemajuan
umat Islam dan bangsa. K.H. Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 7 Rajab 1340 H
atau 23 Pebruari 1923 M dan dimakamkan di Karang Kadjen, Kemantren, Mergangsan,
Yogyakarta.
Latar Belakang
Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad
Darwis. Saat masih kecil beliau diasuh oleh ayahnya sendiri yang bernama
K.H. Abu bakar. Karena sejak kecil Muhammad Darwis mempunyai sifat yang baik,
budi pekerti yang halus dan hati yang lunak serta berwatak cerdas, maka ayah
bundanya sangat sayang kepadanya. Ketika Muhammad Darwis menginjak usia 8 tahun
Ia dapat membaca Al-Qur’an dengan lancar. Dalam hal ini Muhammad Darwis memang
seorang yang cerdas pikirannya karena dapat mempengaruhi teman-teman
sepermainannya dan dapat mengatasi segala permasalahan yang terjadi diantara
mereka.
Muhammad Darwis tinggal di kampung
kauman yang mana di tempat itu anti dengan penjajah. Suasana seperti itu tidak
memungkinkan bagi Muhammad Darwis untuk memasuki sekolah yang dikelola oleh
pemerintah penjajah. Pada waktu itu siapa yang memasuki sekolah gubernamen,
yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah jajahan, dianggap kafir atau
kristen. Sebab itu muhammad Darwis tidak meuntut ilmu pada sekolah Gubernamen,
Ia mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan dari ayahnya sendiri.
Pada
abad ke-19 berkembang suatu tradisi mengirimkan anak kepada guru untuk menuntut
ilmu, dan menurut Karel Steebbrink sebagaimana yang dikutip oleh Weinata Sairin
ada enam macam guru yang terkenal pada masa itu; guru ngaji Qur’an, guru kitab,
guru tarekat, guru untuk ilmu ghaib, pejual jimat dan lain-lain. Dari lima
macam guru tadi, Muhammad Darwis belajar mengaji Qur’an pada ayahnya, sedangkan
belajar kitab pada guru-guru lain.
Setelah
menginjak dewasa, Muhammad Darwis mulai membuka kebetan kitab mengaji kepada
K.H. Muhammad Saleh dalam bidang ilmu Fiqh dan kepada K.H. Muhsin dalam bidang
ilmu nahwu. Kedua guru tersebut merupakan kakak ipar yang rumahnya berdampingan
dalam suatu komplek. Sedangkan pelajaran yang lain beliau belajar kepada
ayahnya sendiri. Guru-guru Muhammad Darwis lain yang bisa disebut adalah; Kyai
haji Abdul Khamid, KH. Muhammad Nur, dan Syaikh Hasan.
Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan
mempelajari perubahan-perubahan yang terjadi di Mesir, Arab, dan India, untuk
kemudian berusaha menerapkannya di Indonesia. Ahmad Dahlan juga sering
mengadakan pengajian agama di langgar atau mushola.
Ø Tujuan Berdirinya Organisasi Muhammadiyah
Sesuai dengan ide pembaruan yang di serapnya dari pemikiran
Timur Tengah, ia pun mulai melakukan usaha meluruskan akidah dan amal ibadah
masyarakat Islam. Melihat kondisi umat Islam yang saat itu cukup kritis, K.H.
Ahmad Dahlan terdorong untuk mendirikan organisasi yang kemudian dinamakan
Muhammadiyah. Organisasi ini berdiri pada 8 November 1912 di yogyakarta.
Perkumpulan Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran Islam kepada sumber
aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini diwujudkan melalui usaha
memperluas dan mempertinggi pendidikan Islam, serta memperteguh keyakinan agama
Islam.
Tujuan dari berdirinya organisasi ini ialah mengadakan
dakwah Islam, memajukan pendidikan dan pengajaran, menghidupkan sifat
tolong-menolong, mendirikan tempat ibadah dan wakaf, mendidik dan mengasuh
anak-anak agar menjadi umat Islam yang berarti, berusaha ke arah perbaikan
penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam, serta berusaha
dengan segala kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan islam berlaku dalam
masyarakat. Rumusan tujuan ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Anggaran
Dasar Muhammadiyah Desenber 1950. Setelah organisasi ini berdiri, sekolah yang
didirikan semakin banyak, karena pendirian sekolah dan madrasah menjadi
prioritas dalam setiap gerakan Muhammadiyah. Oleh karena itu, di mana ada
cabang perkumpulan organisasi ini dipastikan terdapat sekolah atau Madrasah
Muhammadiyah. Hal ini dimungkinkan karena kalangan pendukung Muhammadiyah
kebanyakan berasal dari kaum pedagang dan pegawai di wilayah perkotaan sehingga
mudah untuk dikoordinasikan.
Ø
Pemikiran-Pemikiran K.H. Ahmad
Dahlan
Kyai Dahlan selama di Mekkah dalam
hajinya yang pertama dan kedua banyak berguru demi memperdalam wawasan
ke-Islamannya. Telah kita sama-sama ketahui pula seperti apa keadaan Timur
Tengah semasa beliau belajar disana. Dari kedua premis ini dapat kita ambil
benang merah terkait perkembangan pemikiran Kyai Dahlan sepulang dari Mekkah.
Ketika pemahamannya akan keberagaman kian matang ia pulang dan berhadapan
dengan kenyataan-kenyataan sosial masyarakat .
Kyai Dahlan tentulah pernah
bersentuhan dengan gagasan pembaruan islam yang diusung oleh Muhammad Abduh dan
Jamaludin Al-Afghani. Lagipula beliau juga belajar di Mekkah yang merupakan
bagian dari tanah arab yang ketika itu diwarnai dengan gerakan-gerakan
purifikasi Islam ala Wahabi. Persentuhan intelektual ini jelas meninggalkan
bekas mendalam bagi Kyai Dahlan. Bertolak dari situlah Kyai Dahlan mulai
menghayati perlunya suatu gerakan pembaruan Islam dikampung halamannya. Ketika
Islam telah tercampur aduk dengan tradisi dan umat muslim kian terjebak dalam
formalitis agama jelas harus ada yang ‘meluruskannya’ kembali. Inilah peran
besar yang diambil oleh Kyai Dahlan dengan penuh keinsyafan.
Penyusun berpendapat bahwa pemikiran
pembaruan dan pemurnian Islam Kyai Dahlan merupakan sebuah sitesis pemikiran.
Kyai Dahlan sampai pada cita-citanya setelah ‘terlibat’ dialog intelektual dari
pembacaannya terhadap gagasan-gagasan serupa di Timur Tengah dan kegelisahannya
menghadapi kenyataan sosial - kultural masyarakat
muslim Jawa yang terjebak formalitas
kegamaan. Yang otentik dari kiai dahlan
adalah model gerakanya yang mengakar. Tajdid atau pembaharuan dijayati sebagai
sebuah gerakan sosial yang tidak hanya mandeg ditatanan ide, tapi juga tindakan
nyata yang menyentuh langsung kehidupan ummat muslim. Dalam bahasa Muhammad
Damami, MA, dalam karyanya “Akar Gerakan Muhammadiyah” ,
beragama harus menyapa kehidupan, untuk lebih jelasnya tentang pokok-pokok
pemikiran kiai Dahlan.
Formalitas beragama adalah fokus
utama yang ingin didekonstruksi oleh kyai dahlan. Ide pembaharuan menyangkut
akidah dan syariat. Misalnya tentang upacara ritual kematian , upacara
perkawinan, kehamilan, sunatan, berziarah ke kuburan keramat, memberikan
sesajen kepada hal yang dianggap keramat dan sebagainya. Menurut kyai dahlan ,
hal-hal tersebut bertentangan dengan Islam dan dapat menimbulkan syirik dan
musyrik. Kyai Dahlan juga berupaya menegakkan ajaran Islam sesuai dengan
Al-Qur’an dan Hadist. Berusahan mengedepankan ijtihad jika ada hal yang dapat
dalam Al- Qur’an maupun hadist serta berusaha menghilangkan taqlid (pendapat
ulama terdahulu tanpa ada dasarnya) dalam fiqih dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Di sinilah intelektual yang penyusun
sebut di atas muncul . Upaya kyai dahlan ini memiliki kemiripan jika kita
bandingkan dengan pemikiran-pemikiran Muhammad abduh dan jamaludin Al-afghani,
bahkan dengan gerakan wahabi du arab Saudi . namun kita harus menarik garis
batas yang tegas ketika kemiripan gagasan ini pada aktualisasinya. Tidak
seperti gagasan reformasi timur tengah yang cenderung frontal dan banyak
menimbulkan ekses-ekses negatif. Aktualitas yang dilakukan kyai dahlan justru
berlaku sebaliknya.
Kuntowijoyo dalam kata pengantarnya untuk buku
Islam murni dalam masyarakat petani menegaskan bahwa kyai dahlan sangatlah
toleran dengan praktis keagamaan di zamannya dan memiliki hubungan
interpersonal yang baik dengan berbagi golongan. Sepertiyang kita ketahui
bersama. Kyai dahlan adalah juga anggota BU sering memberikan ceramah-ceramah
di berbagi daerah. Itulah bukti kecil yang menandaskan bahwa gagasan-gagasan
kyai dahlan diterima dengan baik.
Ø Pembaruan – Pembaruan K.H. Ahmad Dahlan
Dalam
bidang Agama,
Bagi Kiai Dahlan Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern
sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau
mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat
tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur’an semata, melainkan dapat
memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan
amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut
pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari
kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan
suatu dogma yang mati.
Di
bidang pendidikan,
Kiai Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang
menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran
mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kiai
Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan
umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S.
met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada
sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun
sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan
sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak
ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di
antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah
diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga
mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan
terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di
samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama
Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.
Di
bidang Organisasi,
pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum
wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari
Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup
dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda,
Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama
Pramuka – dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari
baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi.
Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka
sekarang.
Ø Analisa
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.
0 Komentar