KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Warohmatullah Wabarokatuh
Dengan segala kerendahan
hati, izinkan penulis memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT
yang senantiasa membukakan pikiran dan hati untuk terus berjuang dalam
menegakakan agama-Nya serta makalah yang membahas tentang “Hadits Mutawatir”
dapat penulis selesaikan. Shalawat serta salam tak pernah putus kita sampaikan
kepada pimpinan sekaligus guru peradaban dunia Nabi Muhammad SAW yang banyak
memberikan keteladanan dalam berfikir dan bertindak.
Penulis mengucapkan terima
kasih kepada seluruh pihak dan rekan-rekan yang membantu penulis dalam
memberikan masukan dan pendapat terhadap makalah ini.Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,
kepada para pembaca dan para pakar di mohon saran dan kritikan yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah dan guna meningkatkan kualitas dari makalah
ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa,
masyarakat dan bangsa.
Wasssalamu’alaikum
Warohmatullah Wabarakatuh.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.
Latarbelakang........................................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN...................................................................................... 2
A.
Pengertian Hadit Mutawatir.................................................................... 2
B.
Syarat-Syarat Hadit Mutawatir............................................................... 2
C.
Hukum Hadit Mutawatir......................................................................... 4
D.
Pembagian Hadits Mutawatir.................................................................. 4
E. Kehujjahan Hadits Mutawatir.................................................................. 7
F. Hukum hadist Mutawatir........................................................................... 8
G. Keberadaan Hadist Mutawatir.................................................................. 8
H. Faedah Hadist Mutawatir......................................................................... 9
I. Kitab-kitab Hadist Mutawatir.................................................................... 9
BAB III : PENUTUP.............................................................................................. 10
Kesimpulan.................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eksistensi hadis
sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi.
Namun karena proses transmisi hadis berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam
proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang
membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi kepada ummat Islam
dengan cara mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian
hadist jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist
dikodifikasi pada awal abad kedua Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan
pada sekitar tahun 22 Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan
sistematika Al-Qur’an telah tersusun dengan bak. Kondisi ini sangat berbeda
dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan
netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan perkembangan selanjutnya
para ulama hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist
dengan menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah
proses ini pun dilalui, hadist tidak secara otomatis selamat dan langsung
dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadist terus
dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat
kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu
hadist. Para filosof misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam
berbagai bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat
itu yang struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash
bahwa pendapat itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur transmisi hadits.
Ulama demikian ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari
sisi bilangan sanad yang menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai
pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan
tentang Hadist Mutawatir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut
bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’
(berturut-turut).
Adapun hadits mutawatir
menurut istilah ulama hadits adalah:
حُوَ خَبْرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ جَمٌّ يُجِبُ فيِ العَادَةِ
اِحَالَةُ اِجْتِمَاعِهِمْ و تَوَاطُئِحِمْ عَلى الْكَذِبِ
Artinya: “Khabar yang di dasarkan pada pancaindera yang dikabarkan oleh
sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepekat untuk mengkabarkan
berita itu dengan dusta.”
Ada juga yang
mengartikan hadits mutawatir sebagai berikut:
Secara bahasa,
mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan.
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah
banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai
dari awal hingga akhir sanad. Atau : hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi
tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan
dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti
pendengarannya dan semacamnya.
B. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir
apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.
Hadits
(khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu
benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-
peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil
tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya,
maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu
mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan
para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk
berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah
untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a) Abu Thayib
menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
saksi yang diperlukan oleh hakim.
b) Ashabus
Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para
Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c) Sebagian
ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan
uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat
Al-Anfal ayat 65).
d) Ulama yang
lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai Nabi cukuplah Allah dan orang-orang
yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang
jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat
seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan
bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian
ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada,
tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
4. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata
yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadits, seperti kata: سمعنا (kami
telah mendengar), رأينا (kami telah melihat), لمسنا (kami telah menyentuh) dan lain sebagainya.
Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata, seperti: pendapat tentang
alam semesta yang bersifat huduuts (baru), maka hadits tersebut tidak
dinamakan mutawatir.
C. Hukum Hadits
Mutawatir
Hadits mutawatir
mengandung hukum qath’I al tsubut yaitu memberikan informasi yang pasti
akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang
mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang
yang mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari hadist mutawatir sama
dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti bersumber dari Rasulullah.
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir tidak membutuhkan proses.
Cukup dengan bersandar pada jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini
kebenaran khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa
ada sahabat nabi yang bernama Umar bin Khattab, sekalipun kita belum pernah
melihatnya namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar.
D. Pembagian Hadits Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, yakni
Mutawatir Lafzi dan Mutawatir Ma’nawi, namun sebagian yang lain membagi menjadi
tiga, yakni Hadits Mutawatir Lafzi, Ma’nawi, dan ‘Amali.
1.
Hadits mutawatir lafzhi
Yang dimaksud hadits mutawatir lafzi adalah:
ما تواترت روايته على لفظ واحد
Artinya: “Hadits
yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafzhi.”
Hadits mutawatir lafzhi
ialah hadits yang makna dan lafadznya memang mutawatir. Contohnya :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ
Artinya: “Barangsiapa berdusta atas namaku (Rasullah) secara sengaja,
maka kehendaknya ia bersiap-siap menempati tempatnya di neraka.”
Keterangan :
Lafadz yang orang
ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh tersebut tersebut, diantaranya
ada yang berbunyi begini :
من تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النار (ابن ماجه)
Artinya : “Barang siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku
sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat
duduknya dari neraka”. (Ibnu Majah)
Dan ada lagi begini :
ومن قال علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم)
Artinya : ”Dan barang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang
aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari
neraka”. (Hakim)
Maknanya semua sama.
Perbedaan lafadz itu timbulnya boleh jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa
kali.
Dari ketiga contoh itu,
maka yang dinamakan Mutawatir Lafdzi tidak mesti lafadznya semua sama
betul-betul.
Hadist tersebut
diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist, diantaranya: Bukhari,
Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tarmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah,
Thabarani dan Hakim.
Berikut ini disebutkan
enam hadits mutawatir lainnya:
نضر الله امرء سمع
مقالتي فوعاها وحفظها وبلغها (رواه الترميذي)
Artinya : “Mudah-mudahan Allah akan berbuat baik kepada orang yang
mendengar sabdaku, lalu ia peliharanya dan menjaganya serta menyampaikannya
(kepada manusia).” (HR. Turmidzi)
إ ن
القرﺁن
انزل علي سبعة احرف (رواه النسائ)
Artinya : “Sesungguhnya
Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf”. (HR. Nasai)
مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى
اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ (رواه التبراني)
Artinya : ”Barang siapa
mendirikan sebuah mesjid karena Allah, maka Allah akan mendirikan baginya
sebuah rumah di surga.” (HR. Thabarani)
كل
شراب اسكر فهو حرام (رواه البخاري)
Artinya : Tiap-tiap
minuman yang memabukkan , maka dia itu haram (HR. Bukhari)
إن
الاٍسلام غريبا وسيعوده غريبا (رواه الدارمي)
Artinya : “Sesungguhnya agama Islam itu timbul dengan keadaan asing dan
akan kembali dengan asing (juga)”. (HR. Darimi)
كل ميسر لما خلق له (رواه البخاري)
Artinya : “Tiap-tiap orang dimudahkan kepada apa yang sudah ditakdirkan
baginya”. (HR. Bukhari)
Mutawatir Lafdzi ini
sebenarnya tidak termasuk dalam pembelajaran ilmu Hadist, karena rawi-rawi yang
menceritakan Hadist itu tidak perlu diperiksa dan dibahas lagi, sebab tida
syarat Mutawatir 37 sudah memadai untuk menetapkan keyakinan kita akan benarnya
dari Nabi SAW
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits
tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam
kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2.
Hadis mutawatir ma’nawi
Hadits mutawatir
ma’nawi ialah:
ما تواتر معناه دون لفظه
Artinya: “Hadits
yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.”
Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis
mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadits tersebut,
namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh hadits ini
adalah:
وقال ابو موسى الأشعرى دعا النبي صلى الله عله وسلم ثم رفع يديه ورأيت بياض
ابطيه
Artinya: “Abu Musa Al-‘Asyari berkata: Nabi SAW berdoa kemudian
mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya.”
Hadits-hadits yang
menggambarkan keadaan Rasulullah SAW seperti ini ada sekitar 100 hadits.
Masing-masing hadits menyebutkan Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya
ketika berdoa, meskipun masing-masing (hadits) terkait dengan berbagai perkara
(kasus) yang berbeda-beda. Masing-masing perkara tadi tidak bersifat mutawatir.
Penetapan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa itu termasuk mutawatir
karena pertimbangan digabungkannya berbagai jalur hadis tersebut.
3.
Hadits mutawatir ‘amali
Yang dimaksud dengan
hadits ini
ialah:
ما علم من الدين
باالضرورة وتواتر بين المسلمين ان النبي صلى الله عليه وسلم فعله او امربه او غير
ذلك وهو الذي ينطبق عليه تعريف الإجماع إنطباقا صحيحا
Artinya: “Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan
agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya
menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif
Ijma.”
Macam hadits mutawatir
‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadits yang menerangkan waktu shalat,
raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji,
kadar zakat harta, dan lain-lain.
E. Kehujjahan Hadits
Mutawatir
Hadits mutawatir
mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (ufid ila ‘ilmi al’dhururi), yakni
keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh
hadis tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).
Ibnu
Thaimiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawatir oleh sebagian
golongan lain dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan
tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang telah meyakini akan
kemutawatiran suatu hadits, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan
mengamalkan sesuai tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengetahui dan
meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan suatu
hadits mutawatir yang disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban mereka
mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh imam.
F.
Hukum
Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I
al tsubut, memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut.
Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan
para ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir.
Mengingkari hadist mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas
dan pasti bersumber dari Rasulullah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
penerimaan hadist mutawatir tidak membutuhkan proses seperti hadist ahad.
Cukup denga bersandar pada jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini
kebenaran khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa
ada sahabat nabi yang bernama Umar bin Khattab, sekalipun kita belum pernah
melihatnya namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar.
G. Keberadaan Hadist Mutawatir
Ibnu Shalah berpendapat bahwa hadist
mutawatir jumlahnya tidak banyak. Pendapat ini dibantah keras oleh Ibn Hajar,
“orang yang mengatakan bahwa hadist mutawatir jumlahnya sedikit, berarti
dia kurang serius mengkaji hadist”.
Para ulama kemudian berusaha
mengakurkan dua pendapat ini. Apabila yang dimaksud oleh Ibn Shalah adalah
hadist mutawatir lafdzi, maka pendapat itu ada benarnya, karena keberadaan
hadist mutawatir lafdzi realitanya memang tidak banyak. Ibn Hajar tatkala
mengatakan bahwa hadist mutawatir jumlahnya banyak, juga ada benarnya, jika
yang dimaksud adalah hadist mutawatir maknawi atau mutawatir
secara umum
H. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir
memberikan faedah ilmu dharuri, yaitu suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya.
Apabila telah meyakini kemutawatiran suatu hadits, wajib baginya untuk
mempercayai dan mengamalkan sesuai isinya.
I.
Kitab-Kitab Hadits Mutawatir
Bebrapa hadits-hadits
Mutawatir telah dikumpulkan dalam sebuah kitab tersendiri diantaranya:
v Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi
v Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab diatas
v Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah min Al-HaditsAl-Mutawatirah, karya Abu Abdillah
Muhammad bin Thulun Ad-Dimsyaqi
v Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin
Ja’far Al-Kattani.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara bahasa,
mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan.
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah
banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai
dari awal hingga akhir sanad. Atau : hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi
tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan
dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti
pendengarannya dan semacamnya.
Suatu hadits dapat dikatakan
mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits
(khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) pancaindera.
2. Bilangan
para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk
berdusta.
3. Seimbang
jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya.
4. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata
yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadits.
Hadits mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut yaitu memberikan
informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak
dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama menghukumi
kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari hadist
mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti
bersumber dari Rasulullah.
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, yakni
Mutawatir Lafzi dan Mutawatir Ma’nawi, namun sebagian yang lain membagi menjadi
tiga, yakni Hadits Mutawatir Lafzi, Ma’nawi, dan ‘Amali.
0 Komentar