Advertisement

Header Ads

Pokok-Pokok Kandungan Al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al quran adalah kitab suci yang diwahyukan Allah SWT. Kepada nabi Muhammad Saw. Berisi petunjuk-petunjuk bagi kehidupan dan penghidupan ummat islam khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Alquran adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab taurat, zabur dan injil yang diturunkan melalui para rasul.Syaikh Abu Utsman berkata :”Ashhabul Hadits bersaksi dan berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (ucapan Allah), Kitab-Nya dan wahyu yang diturunkan, bukan makhluk. Barangsiapa yang menyatakan dan berkeyakinan bahwa ia makhluk maka kafir menurut pandangan mereka.
Al quran sifatnya universal, untuk itu dia hanya menetapkan pokok-pokok hukum dasar, dari pokok-pokok hukum dasar tersebut dapat dikembangkan secara elastis sesuai dengan kemampuan, kondisi, dan situasi manusia yang bersangkutan.
Pokok – pokok kandungan Al quran pada prinsipnya  meliputi ; aqidah, ibadah dan muamalah, akhlak , hukum, sejarah dan dasar – dasar sains ( ilmu pengetahuan ).

B. Rumusan Masalah
a. Apa saja pokok – pokok isi kandungan Al quran ?

C. Tujuan Pembahasan
a. menjelaskan pokok – pokok isi kandungan Al quran.
b. mengetahui apa saja pokok- pokok isi kandungan al qur’an.






BAB II
PEMBAHASAN
Pokok-Pokok Kandungan Al-Qur'an

   A.    Pokok-pokok Keyakinan Atau Keimanan (Aqidah)
Salah satu pokok kandungan al-Qur’an adalah masalah akidah. Bahkan masalah akidah inilah merupakan inti kandungan al-Qur’an. Akidah secara etimologis berasal dari kata ‘aqada ya’qidu-aqdan-aqidatan, yang berarti simpul, ikatan, perjanjian yang kokoh. Setelah kata tersebut menjadi aqidah maka ia berarti keyakinan.
Secara terminologi (istilah) ada beberapa pengertian tentang akidah antara lain, menurut Hasan al-Banna Akidah adalah: beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.
Aqidah Islam adalah keimanan yang pasti kepada pokok-pokok ini berikut cabang-cabang dari pokok-pokok ini yaitu dari perkara gaib, pokok-pokok hukum yang pasti dan semua pokok agama dan aqidah yang disepakati oleh salaf (pendahulu) kita yang sholih.
Pokok-pokok ini menurut para nabi adalah satu sebagaimana Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنا معشر الأنبياء ديننا واحد. متفق عليه
Sesungguhnya kami para nabi agama kami adalah satu. disepakati oleh Bukhori&Muslim.


Imam Nawawi berkata-semoga Alloh merahmatinya-:
أصل إيمانهم واحد وشرائعهم مختلفة، فإنهم متفقون في أصول التوحيد. شرح صحيح مسلم (15/120).
Pokok keimanan mereka adalah satu dan syari’at mereka berbeda-beda, maka sesungguhnya mereka sepakat dalam pokok-pokok tauhid”
Ibnu Hajar dalam kitab fathul baari (6/489) berkata:
بل إن أول دعوة الرسل واحدة وهي الدعوة إلى عبادة الله وحده لا شريك له
Bahkan sesungguhnya yang pertama kali didakwahkan oleh para utusan Alloh adalah satu yaitu ajakan untuk beribadah kepada Allah saja yang tidak ada sekutu bagiNya
Maka menurut semua ulama pokok-pokok agama dan keyakinan adalah satu, maka anggapan yang keliru dari sebagian orang bahwa berbilangnya madzhab-madzhab dalam fiqih adalah berbilangnya madhab-madzhab dalam aqidah berdasarkan para ulama, kenapa anggapan itu keliru?
Karena berkembangnya madzhab-madzhab dalam fiqih itu setelah mereka sepuluh tahun, kalau memang ada perselihan madzhab para ulama dalam fiqih maka sesungguhnya mereka itu besepakat dalam pokok-pokok agama dan keyakinan .
Oleh karena itu Ibnu Taimiyyah -semoga Allah merahmatinya- berkata:
اعتقاد الشافعي واعتقاد سلف الإسلام كمالك والثوري والأوزاعي وابن المبارك وأحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه، فإنه ليس بين هؤلاء الأئمة وأمثالهم نزاع في أصول الدين. الفتاوي: (5/256).
keyakinan Imam syafi’I dan keyakinan salaf (pendahulu) islam seperti Imam Malik, Asstaury. Al Auzaa’I, Ibnu Mubarok, Ahmad bin Hanbal dan Ishak bin Rohawaih, maka sesungguhnya tidak ada perbedaan antara mereka para ulama dan yang semisalnya dalam pokok-pokok agama. Al fataawa: (5/256).
Menurut Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, akidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah.

Ruang lingkup pembahasan akidah meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.      Ilahiyyat: segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah Swt seperti wujud Allah, nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Karena Allah tidak tampak (ghoib) oleh manusia, maka untuk sekedar mendapat gambaran atau pengertian, diberiaknlah sifat-sifat Allah Swt dalam al-Qur’an.
       b.       Nubuwat: yaitu hal-hal yang berkaitan dengan nabi dan rasul, termasukpembahasan
             tentang kitab-kitab Allah mukjizat dan sebagainya.
c.    Ruhaniyyat: yaitu pembahasan yang berkaitan dengan alam metafisik (yang bersifat ghaib) seperti tentang malaikat, jin, iblis syaitan dan sebagainya.
d.      Sam’iyyat: yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang bias diketahui melalui as-sama’ (pendengaran yang berdasarkan dalil naqli, yaitu al-Qur’an dan al-sunnah al-shahihah). Seperti pembahasan tentang surge, neraka, alam barzakh atau alam kubur, tanda-tanda kiamatdan sebagainya. Pembahasan tentang hal-hal ini kemudian oleh para ulama disebut dengan rukun iman, yang meliputi Iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah para rasul-Nya, hari kiamat dan qadla-qadar.

B.     Pokok-pokok pengabdian kepada Allah swt.

            Pada sisi pengabdian, manusia harus aktif, karena kita difungsikan sebagai subyek yang dimaksudkan untuk melakukan pengabdian. Secara essensial pengabdian kepada Allah diwujudkan dalam dua bentuk yaitu:
·                     melakukan semua yang diperintahkan,Bismillahirrahmanirrahim
·                     dan menjauhi semua yang dilarang .

Artinya kita senantiasa berupaya untuk menempatkan diri seutuhnya lahir dan batin dalam kepatuhan mutlak kepada Maha Pencipta.

            Melakukan yang diperintahkan tanpa menjauhi yang dilarang belum bisa dikatakan sebagai pengabdian, karena tidak ada unsur kepatuhan. Sebaliknya: menjauhi yang dilarang tanpa melakukan yang disuruh, juga belum bisa dikatakan sebagai suatu kepatuhan, sehingga bukan merupakan pengabdian. Inilah essensi dari pengabdian, yang harus dilaksanakan dengan penuh keikhlasan.
   "Ikhlas" dalam melakukan perintah Allah adalah merupakan suatu keniscayaan. Tanpa keikhlasan, kepatuhan belum bisa dikatakan sebagai suatu pengabdian. "Ikhlas" dalam menjauhi larangan Allah juga merupakan keniscayaan, karena tanpa keikhlasan, menjauhi larangan Allah belum bisa dikatakan sebagai suatu pengabdian. Mari kita cermati contoh sederhana berikut:
  Sewaktu berjalan di suatu lorong saya melihat sebatang pohon rambutan di pekarangan rumah penduduk berbuah sangat lebat. Tiba-tiba saya mempunyai hasrat untuk menikmatinya. Saya dekati cabang pohon yang rendah dengan maksud untuk mengambil buahnya. Sewaktu buah rambutan sudah berada dalam jangkauan tangan, tiba-tiba pemilik rumah keluar dari pintu samping. Takut dan malu ketahuan sebagai "pencuri" maka saya mengurungkan niat mengambil buah (yang saya tidak berhak atasnya) dan meneruskan perjalanan. Apakah ini dapat dikatakan sebagai suatu pengabdian kepada Allah?
 Apakah perbuatan saya menghindari pengambilan barang tanpa hak, seperti contoh diatas mempunyai nilai kebaikan? Jelas mempunyai nilai kebaikan. Tetapi apakah perbuatan saya tersebut mempunyai nilai ibadah kepada Allah? Wallahua’lam. Seandainya sipemilik rumah tidak terlihat oleh saya, sangat mungkin saya sudah mengambil dan menikmati rambutan tersebut. Artinya saya tidak jadi melakukan "larangan" tersebut karena orang, bukan karena Allah. Mohon direnungkan.
Berada di jalur taat berarti berada dalam kebenaran (haq). Orang yang berada di jalur taat seharusnya tidak mendekat ke jalur ingkar (batil). Karena Allah melarang kita mencampurkan yang haq dengan yang batil. Jangankan menetap di jalur ingkar (batil), mencampurkan taat (haq) dengan ingkar (batil) saja sudah terlarang.
 Dengan demikian, sebagai orang yang sudah mengikrarkan syahadah, dan mengaku beriman marilah kita pada setiap saat, dalam kehidupan duniawi yang sangat singkat ini, memperbaharui dan memperteguh komitmen untuk berupaya agar dalam keseharian kita senantiasa:
·                     tetap berada pada jalur taat,
·                     tidak terpeleset ke jalur ingkar.
C.   Tata cara hubungan antar sesama
Pada hakikatnya, tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan orang lain. Manusia memiliki naluri untuk hidup berkelompok dan berinteraksi dengan orang lain.6 Karena pada dasarnya, setiap manusia memiliki kemampuan dasar yang berbeda-beda dan memiliki ciri khas tersendiri yang dapat dijadikan sebagai alat tukar menukar pemenuhan kebutuhan hidup.
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.
Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan bantuan orang lain, manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya.
Selain itu, manusia diciptakan dari berbagai karakteristik, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal satu sama lain.
$يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴿١٣﴾
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)
Dalam menjalin hubungan baik sesama manusia, hendaknya sikap hormat-menghormati tidak dilupakan. Mengenai hal ini, Allah sudah memperingatkan dalam surah An-Nisa ayat 86:7
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا﴿٨٦﴾
Artinya:
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.”
Sebagai makhluk sosial, manusia dapat saling berinteraksi menjalin hubungan yang baik saling menghormati dengan sesama, berkasih sayang sebagai fitrah diri manusia.
Interaksi manusia akan menghasilkan bentuk masyarakat yang luas. Alquran, sebagai kitab suci umat Islam, memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dan kualitas suatu masyarakat yang baik, wwalaupun semua itu memerlukan upaya penafsiran dan pengembangan pemikiran. Di samping itu Alquran juga memerintahkan kepada umat manusia untuk memikirkan pembentukan suatu masyarakat dengan kualitas-kualitas tertentu. Dengan begitu, menjadi sangat mungkin bagi umat Islam untuk membuat suatu gambaran masyarakat ideal berdasarkan petunjuk Alquran.
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam Alquran menunjuk arti masyarakat ideal, antara lain: Ummatun Wâhidah, Ummatun Wasathan, Khairu Ummah, Baldatun Thoyyibatun, Ummatun Muqtashidah. Berikut penjelasannya:
·         Ummatun Wâhidah
Bahwa pada mulanya manusia itu adalah satu umat, ditegaskan dalam surah Al-Baqarah: 213.
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ ۚ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۖ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ ۗ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ﴿٢١٣﴾
Artinya:
Manusia sejak dahulu adalah umat yang satu, selanjutnya Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab itu, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena keinginan yang tidak wajar (dengki) antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus.”
Dalam ayat ini secara tegas dikatakan bahwa manusia dari dahulu hingga kini merupakan satu umat. Allah Swt menciptakan mereka sebagai makhluk sosial yang saling berkaitan dan saling membutuhkan. Mereka sejak dahulu hingga kini baru dapat hidup jika bantu membantu sebagai satu umat, yakni kelompok yang memiliki persamaan dan keterikatan. Karena kodrat mereka demikian, tentu saja mereka harus berbeda-beda dalam profesi dan kecenderungan. Ini karena kepentingan mereka banyak, sehingga dengan perbedaan tersebut masing-masing dapat memenuhi kebutuhannya.
·         Ummatun Wasathan
Istilah lain yang juga mengandung makna masyarakat ideal adalah Ummatun Wasathan. Istilah ini antara lain tertuang dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah: 143
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ﴿١٤٣﴾
Artinya:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa kualifikasi umat yang baik adalah ummatun wasathan. Kata wasathan terdiri dari huruf wau, sîn dan tha’ yang bermakna dasar pertengahan atau moderat yang memang menunjuk pada pengertian adil. Al-Râghib mengartikan sebagai sesuatu yang berada di pertengahan yang kedua ujungnya pada posisi sama. Posisi prtengahan menjadikan anggota masyarakat tersebut tidak memihak ke kiri dan ke kanan, yang dapat mengantar manusia berlaku adil. Posisi itu jugamenjadikannya dapat menyaksikan siapapun dan dimanapun. Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain.
·         Ummatun Muqtashidah
Ungkapan ummatun muqtashidah terulang hanya sekali dalam Al-Quran yaitu dalam surah Al-Maidah: 66
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ ۚ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ﴿٦٦﴾
Artinya:
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan[. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.”
Makna kelompok pertengahan (ummatun muqtashidah) dalam ayat di atas adalah segolongan kelompok yang berlaku pertengahan dalam melakukan agamanya, tidak berlebihan juga tidak melalaikan.
·         Khairu Ummah
Istilah khairu Ummah berrti umat terbaik atau umat unggul atau masyarakat ideal hanya sekali saja disebutkan diantara 64 kata ummah dalam Al-Quran yakni dalam surah Ali Imran: 110.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ﴿١١٠﴾
Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Dalam ayat tersebut, dijelaskan kriteria-kriteria Khairu Ummah, yaitu menyuruh kepada ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
·         Baldatun Thoyyibah
Istilah ini tertuang dalam surah Saba’:15.
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ﴿١٥﴾
Artinya:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”
Baldatun Thoyyibah berarti mengacu kepada tepat, bukan kepada kumpuln orang. Namun, Ali Nurdin, dalam bukunya Menelusuri Masyarakat Ideal dalam Alquran memasukkan ungkapan tersebut dalam istilah masyarakat ideal dengan faktor kebahasaan sebagai salah satu pertimbangan utama.
     D.   Pokok-pokok aturan tingkah laku(Akhlak)
                        Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang memiliki kedudukan yang sangat penting, di samping dua kerangka dasar lainnya. Akhlak merupakan buah yang dihasilkan dari proses menerapkan aqidah dan syariah. Ibarat bangunan, akhlak merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya kuat. Jadi, tidak mungkin akhlak ini akan terwujud pada diri seseorang jika dia tidak memiliki aqidah dan syariah yang baik. Nabi Muhammad Saw. dalam salah satu sabdanya mengisyaratkan bahwa kehadirannya di muka bumi ini membawa misi pokok untuk menyempurnakan akhlak manusia yang mulia. Nabi bersabda: 

Artinya: ”Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Ahmad). 

Apa yang dinyatakan Nabi sebagai misi utama kehadirannya bukanlah suatu yang mengada-ada, tetapi memang sesuatu yang nyata dan Nabi benar-benar menjadi panutan dan teladan bagi umatnya dan bagi setiap manusia yang mau menjadi manusia berkarakter atau berakhlak mulia. Pengakuan akan akhlak Nabi yang sangat agung bukan hanya dari manusia, tetapi dari Allah Swt. seperti dalam firmannya: 


Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam [68]: 4). 

Karena keluhuran akhlak dan budi Nabi itulah, Allah Swt. menjadikannya sebagai teladan yang terbaik bagi manusia, khususnya bagi umat Islam. Allah Swt. berfirman: 


Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab [33]: 21). 

Untuk memahami akhlak Nabi yang lebih rinci di samping ditegaskan dalam hadis-hadisnya, juga bisa dilihat dari keseluruhan ayat al-Quran yang berisi perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Apa saja yang diperintahkan Allah dalam al-Quran pasti dilakukan oleh Nabi, dan apa saja yang dilarang Allah dalam al-Quran pasti ditinggalkan dan dijauhi Nabi. Maka sangat tepat ketika ‘Aisyah (isteri Nabi) ditanya oleh sahabat bagaimana tentang akhlak Nabi? ‘Aisyah menjawab, “Akhlak Nabi adalah al-Quran.” Artinya sikap dan perilaku Nabi sehari-hari tidak ada yang keluar dan menyimpang dari semua aturan yang ada dalam al-Quran. 

Karena itu, siapa pun yang bermaksud meneladani Nabi atau bersikap dan berperilaku seperti Nabi, maka ia harus tunduk dan patuh terhadap seluruh aturan yang ada dalam al-Quran, baik yang berupa perintah-perintah Allah maupun larangan-larangan-Nya. Di sinilah pentingnya umat Islam memahami isi kandungan al-Quran. 
   
E. Pokok-pokok aturan hukum  (Syari’ah)
Secara bahasa Syari’ah berasal dari kata syir’ah atau syari’ah yang berarti jalan yang jelas (al-thariq al-wadlih). Dalam arti luas, syariah adalah seluruh ajaran islam yang berupa norma-norma agama agar ditaati, baik berkaitan dengan tingkah laku individual dan kolektif. Syariah dalam pengertian luas ini identik dengan ad-din (agama) yang juga berlaku untuk umat-umat Nabi yang dulu. Allah berfirman dalam surat Asy-Syura ayat 13:
13. Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Keberadaan Al-Qur’an sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan Al-Qur’an bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Bagi Mu’tazilah Al-Qur’an berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam Al-Qur’an terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk Al-Qur’an terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula Al-Qur’an diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh puasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam Al-Qur’an, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih.
Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Qur’an sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebih-lebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Qur’an semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah.
Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup secara umum mengandung 3 ajaran pokok:
  1. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan kaidah (keimanan) yang membicarakan tentang hal-hal yang wajib diyakini, seperti masalah tauhid, masalah kenabian, mengenai kitab-Nya, Malaikat, hari Kemudian dan sebagainya yang berhubungan dengan doktrin ‘akidah.
  2. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak, yaitu hal-hal yang harus dijadikan perhiasan diri oleh setiap mukallaf berupa sifat-sifat keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa kepada kehinaan.
  3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan amal perbuatan mukalaf. Dari hukum-hukum amaliyah inilah timbul dan berkembangnya ilmu fikih, hukum-hukum amaliyah dalam Al-Qur’an terdiri dari dua cabang, yaitu hokum-hukum badah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dan hokum-hukum mu’amalat yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.
Abdul Wahhab Khallaf merinci macam hukum-hukum bidang mu’amalat dan jumlah ayatnya sebagai berikut:
  1. Hukum keluarga, mulai dari terbentuknya pernikahan sampai masalah talak, rujuk, ‘iddah, dan sampai msalah warisan. Ayat-ayat yang mengatur masalah ini tercatat sekitar 70 ayat. Surat al-Baqarah ayat 234
  2. Hukum mu’amalat (perdata), yaitu hukum-hukum yang  mengatur hubungan seseorang dengan sesamanya, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai, utang piutang, dan hokum perjanjian. Hokum-hukum jenis ini mengatur hubungan perorang, masyarakat, hal-hal yang berhubungan dengan harta kekayaan, dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing. Ayat-ayat yang mengatur hal ini terdiri dari 70 ayat. Contoh: surat an-Nisa’ ayat 29
  3. Hukum jinayat (pidana), yaitu hokum-hukum yang menyangkut dengan tindakan kejahatan. Hukum-hukum seperti ini bermaksud untuk memelihara stabilitas masyarakat, seperti larangan membunuh serta sanksi hukumnya, larangan menganiaya orang lain, berzina, mencuri, serta ancaman hokum atas pelakunya. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 30 ayat. Surat al-Maidah ayat 90
  4. Hukum al-murafa’at (acara), yaitu hokum-hukum yang berkaitan dengan peradilan, kesaksian, dan sumpah. Hokum-hukum seperti ini dimaksudkan agar putusan hakim dapat seobjektif mungkin, dan untuk itu diatur hal-hal yang memungkinkan untuk menyingkap mana pihak yang benar dan mana yang salah. Ayat-ayat yang mengatur hal ini berjumlah sekitar 13 ayat.
  5. Hukum ketatanegaraan, yatiu ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pemerintahan. Hukum-hukum seperti ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan penguasa dengan rakyat, dan mengatur hak-hak pribadi dan masyarakat. Ayat ayat yang berhubungan dengan masalah ini sekitar 10 ayat. An-Nahl ayat 90
  6. Hukum antara bangsa (internasional), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara Negara islam dengan non islam, dan tata cara pergaulan dengan non muslim yang berada di Negara islam. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 25 ayat. QS Al-Hujarat ayat 13
  7. Hukum ekonomi dan keuangan, yaitu hukum-hukum yang mengatur hak-hak fakir miskin dari harta rang-orang kaya. Hukum-hukum semacam ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan keuangan antara orang yang berupaya dan orang-orang yang tidak berupaya, dan antara Negara dan perorangan. Ayat-ayat yang mnegatur bidang ini sekitar 10 ayat.
F.    Dasar-dasar ilmu pengetahuan
Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan  pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu isi pokok kandungan kitab suci al-Qur’an. Bahkan kata ‘ilm itu sendiri disebut dalam al-Qur’an sebanyak 105 kali, tetapi dengan kata jadiannya ia disebut lebih dari 744 kali[8]. Sains merupakan salah satu kebutuhan agama Islam, betapa tidak setiap kali umat Islam ingin melakasanakan ibadah selalu memerlukan penentuan waktu dan tempat yang tepat, umpamanya melaksanakan shalat, menentukan awal bulan Ramadhan, pelaksanaan haji semuanya punya waktu-waktu tertentu dan untuk mentukan waktu yang tepat diperlukan ilmu astronomi.
Maka dalam Islam pada abad pertengahan dikenal istilah “ sains mengenai waktu-waktu tertentu”. Banyak lagi ajaran agama yang pelaksanaannya sangat terkait erat dengan sains dan teknologi, seperti untuk menunaikan ibadah haji, bedakwah menyebarkan agama Islam diperlukan kendraan sebagai alat transportasi. Allah telah meletakkan garis-garis besar sains dan ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an, manusia hanya tinggal menggali, mengembangkan konsep dan teori yang sudah ada, antara lain sebagaimana terdapat dalam Q.S Ar-Rahman: 55/33.
Hai jama''ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (Q.S Ar-Rahman: 55/33).
Al-Qur’an sejak empat belas abad yang silam telah memberikan isyarat secara ilmiyah kepada bangsa Jin dan Manusia, bahwasanya mereka telah di persilakan oleh Allah untuk mejelajah di angkasa luar asalkan saja mereka punya kemampuan dan kekuatan (sulthan); kekuatan yang dimaksud di sisni sebagaimana di tafsirkan para ulama adalah ilmu pengetahuan atau sains dan teknologi, dan hal ini telah terbukti di era mederen sekarang ini, dengan di temukannya alat transportasi yang mampu menembus angksa luar bangsa-bangsa yang telah mencapai kemajuan dalam bidang sains dan teknologi telah berulang kali melakukan pendaratan di Bulan, pelanet Mars, Juipeter dan pelanet -pelanet lainnya.
Menurut Quraish Shihab pemaparan ayat-ayat Al-Qur’an tentang ”Kebenaran Ilmiah” tersebut lebih bertujuan untuk menunjukkan tentang kebesaran Tuhan dan ke Esa-an Nya, serta mendorong manusia seluruhnya mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan KepadaNya.
Al-Quran demikian menghormati kedudukan ilmu dengan penghormatan yang tidak ditemukan bandingannya dalam kitabkitab suci yang lain. Sebagai bukti, Al-Quran menyifati masa Arab pra-Islam dengan jahiliah (kebodohan). Di dalam Al-Quran terdapat beratus-ratus ayat yang menyebut tentang ilmu dan pengetahuan. Di dalam sebagian besar ayat itu disebutkan kemuliaan dan ketinggian derajat ilmu.
Membuka dan membaca mushaf Al-Qur'an, kita akan menemukan ratusan ayat yang membicarakan tentang petunjuk untuk memperhatikan bagaimana cara kerja Alam dunia ini. Tidak kurang dari 700 ayat dari 6000-an ayat Al-Qur'an memberikan gambaran kepada manusia untuk memperhatikan alam sekitarnya. Selain itu, biasanya ayat-ayat yang membahasnya diawali maupun diakhiri dengan sindiran-sindiran seperti; "apakah kamu tidak memperhatikan?", "Apakah kamu tidak berpikir?", "Apakah kamu tidak mendengar?", "Apakah kamu tidak melihat?". Sering pula di akhiri dengan kalimat seperti "Sebagai tanda-tanda bagi kaum yang berpikir", "Tidak dipahami kecuali oleh Ulul Albaab". Demikianlah Mukjizat terakhir Rasul, yang selalu mengingatkan manusia untuk mendengar, melihat, berpikir, merenung, serta memperhatikan segala hal yang diciptakan Allah di dunia ini.
                       
G.   Sejarah para nabi dan umat terdahulu
   Kisah-kisah dalam Alquran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
  1. Kisah para Nabi yang memuat dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang ada pada mereka, sikap para penentang, perkembangan dakwah dan akibat-akibat yang diterima orang-orang yang mendustakan para Nabi.
  2. Kisah-kisah yang berkaitan dengan kejadian-kejadian umat-umat terdahulu dan tentang orang-orang yang tidak dapat dipastikan kenabiaanya, seperti kisah Thalut, Jalut, dua putra Adam, Ashahab al-Kahfi, Zulqarnai, Ashabul Ukhdud dsb.
  3. Kisah-kisah yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah seperti perang badar, uhud, tabuk dan lain sebagainya.
Adapun unsur-unsur kisah dalam Alquran adalah:
  1. Pelaku (al-Syaksy). Dalam Alquran para actor dari kisah tersebut tidak hanya manusia, tetapi juga malaikat, jin dan bahkan hewan seperti semut dan burung hud-hud.
  2. Peristiwa (al-Haditsah). Unsur peristiwa merupakan unsur pokok dalam suatu cerita, sebab tidak mungkin, ada suatu kisah tanpa ada peristiwanya. Berkaitan peristiwa, sebagian ahli membagi menjadi tiga, yaitu a) peristiwa yang merupakan akibat dari suatu pendustaan dan campur tangan qadla-qadar Allah dalam suatu kisah. b) peristiwa yang dianggap luar biasa atau yang disebut mukjizat sebagai tanda bukti kebenaran, lalu datanglah ayat-ayat Allah, namun mereka tetap mendustakannya lalu turunlah adzab. c) peristiwa biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal sebagai tokoh yang baik atau buruk, baik merupakan rasul maupun manusia biasa.
  3. Percakapan (Hiwar). Biasanya percakapan ini terdapat pada kisah yang banyak pelakunya, seperti kisah Nabi Yusuf, kisah Musa dsb. Isi percakapan dalam Alquran pada umumnya adalah soal-soal agama, misalnya masalah kebangkitan manusia, keesaan Allah, pendidikan dsb. Dalam hal ini Alquran menempuh model percakapan  langsung. Jadi Alquran menceritakan pelaku dalam bentuk aslinya.

  1. Tujuan dan Fungsi Qashasul Quran
Apa sebenarnya tujuan dan fungsi kisah dalam Alquran? Kisah-kisah dalam Alquran merupakan salah satu cara yang dipakai Alquran untuk mewujudkan tujuan yang bersifat agama. Sebab Alquran itu juga sebagai kitab dakwah agama dan kisah menjadi salah satu medianya untuk menyampaikan dan memantapkan dakwah tersebut.
Oleh karena tujuan-tujuan yang bersifat religius ini, maka keseluruhan kisah dalam Alquran tunduk pada tujuan agama baik tema-temanya, cara-cara pengungkapannya maupun penyebutan peristiwanya. Namun ketundukan secara mutlak terhadap tujuan agama bukan berarti ciri-ciri kesusasteraan pada kisah-kisah tersebut sudah menghilang sama sekali, terutama dalam penggambarannya. Bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan agama dan kesusasteraan dapat terkumpul pada pengungkapan Alquran. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan kisah Alquran adalah untuk tujuan agama, meskipun demikian tidak mengabaikan segi-segi sastranya.
Adapun tujuan dan fungsi dalam Alquran antara lain adalah:
  1. Untuk menunjukkan bukti kerasulan Muhammad saw. Sebab beliau meskipun tidak pernah belajar tentang sejarah umat-umat terdahulu, tapi beliau dapat tahu tentang kisah tersebut. Semua itu tidak lain berasal dari wahyu Allah.
  2. Untuk menjadikan uswatun hasanah suritauladan bagi kita semua, yaitu dengan mencontoh akhlak terpuji dari para Nabi dan orang-orang salih yang disebutkan dalam Alquran.
  3. Untuk mengokohkan hati Nabi Muhammad saw dan umatnya dalam beragama Islam dan menguatkan kepercayaan orang-orang mukmin tentang datangnya pertolongan Allah dan hancurnya kebatilan.
  4. Mengungkap kebohongan ahli kitab yang telah menyembunyikan isi kitab mereka yang masih murni.
  5. Untuk menarik perhatian para pendengar dan menggugah kesadaran diri mereka melalui penuturan kisah.
  6. Menjelaskan prinsip-prinsip dakwah agama Allah, yaitu bahwa semua ajaran para Rasul intinya adalah tauhid.
Pandangan Orientalis Terhadap Kisah Dalam Alquran
Ada beberapa orientalis yang berpendapat bahwa kisah-kisah masa lampau yang dikemukakan Alquran diketahui Nabi Muhammad saw dari seorang pendeta atau beliau jiplak dari kitab Perjanjian Lama. Pendapat ini jelas tidak benar dari banyak segi.
Pertama, Nabi Muhammad saw tidak  pernah belajar pada siapapun. Memang pada masa kanak-kanak beliau pernah ikut berdagang pamanya ke Syam dan bertemu dengan rahib yang bernama Buhaira yang meminta pamannya agar member perhatian serius pada nabi karena dia melihat tanda-tanda kenabian pada beliau. Namun pertemuan ini pun hanya terjadi beberapa saat. Di sini kita bertanya, “kalau remaja kecil (Muhammad saw) belajar pada rahib itu, apakah logis dalam pertemuan singkat itu beliau memperoleh banyak informasi yang mendetail, bahkan sangat akurat?” tentu saja tidak.
Ada juga seorang orientalis yang bernama Montgomery Watt yang berkata bahwa  Nabi Muhammad saw belajar pada Waraqah bin Naufal. Menurutnya, Khadijah merupakan anak paman Waraqah bin Naufal, sedangkan ia merupakan agamawan yang akhirnya menganut agama Kristen. Tidak dapat disangkal Khadijah berada di bawah pengaruhnya dan boleh jadi Muhammad telah menimba sesuatu dari semangat dan pendapat-pendapatnya.
Kita mengakui kalau Waraqah beragama Kristen, tapi bahwa Muhammad dating belajar kepadanya adalah sesuatu yang tidak dapat diterima. Hal ini karena menurut pelbagai riwayat kedatangan beliau menemui Waraqah adalah setelah beliau menerima wahyu dan bukan sebelumnya. Di sisi lain, Waraqah berpendapat bahwa yang datang pada Nabi Muhammad saw di gua Hira itu adalah malaikat yang pernah datang pada Nabi Musa dan Isa a.s., dan beliau menyatakan bahwa seandainya hidup saat Muhammad dimusuhi kaumnya, niscaya dia akan membelanya. Jika demikian logiskah jika Nabi Muhammad saw belajar kepadanya setelah Waraqah mengakui kenabiannya?
Tidaklah tepat jika dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw mempelajari Kitab Perjanjian Lama karena disamping beliau tidak dapat membaca dan menulis, juga karena terdapat sekian banyak informasi yang dikemukakan Alquran yang tidak termaktub dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, missal kisah Ashab Al-Kahfi. Kalaupun ada yang sama, seperti beberapa kisah nabi-nabi, namun dalam rincian atau rumusan terdapat perbedaaan-perbedaan.

  


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
  1. Alquran merupakan kitab suci umat Islam dan manusia seluruh alam yang tidak dapat diragukan kebenarannya dan berlaku sepanjang zaman, baik masa lalu, masa sekarang maupun masa yang akan datang.
  2. Sebagian isi kandungan dalam Alquran kebanyakan memuat tentang qashas (sejarah) umat-umat terdahulu sebagai bahan pelajaran bagi umat sekarang (umat Islam).
  3. Qashashul quran adalah kabar-kabar dalam Alquran tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
  4. Tujuan kisah Alquran adalah untuk memberikan pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya dan agar dijadikan ibrah (pelajaran) untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang baik dan benar.
  5. Kisah dalam Alquran dibedakan tiga macam, yaitu: kisah dakwah para nabi, kejadian umat terdahulu dan kejadian di zaman Rasulullah Muhammad saw.
  6. Unsur kisah Alquran juga ada tiga, yakni: adanya Pelaku, kejadian atau peristiwa dan percakapan.
  7. Inti dari fungsi kisah dalam Alquran adalah untuk dakwah menegakkan kalimat tauhid, membantah kebohongan kaum kafir serta menjadikannya sebagai pelajaran yang amat berharga bagi umat Islam.
  8. Beberapa kaum orientalis ada yang meragukan keaslian kisah-kisah dalam Alquran. Namun anggapan mereka terbantahkan dengan bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas.




DAFTAR  PUSTAKA


http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/tauhid/kitab-kitab-islam/788/isikandungan-al-quran.html
http://www.organisasi.org/1970/01/isi-kandungan-alquran-aqidah-ibadah-akhlak-hukum-sejarah-dorongan-untuk-berfikir-garis-besar-inti-sari-al-quran.html
http://sejarah.kompasiana.com/2011/08/05/memahami-kandungan-al-quran/

buku ekonomi islam

Posting Komentar

0 Komentar