Advertisement

Header Ads

Hukum dan Tatacara Shalat Beserta Dalil-Dalilnya


Hukum dan Tatacara Shalat Beserta Dalil-Dalilnya

Shalat adalah perintah Allah Swt. dan ibadat yang paling utama untuk membuktikan ke-Islaman seseorang. Untuk mengukur keimanan seseorang, dapat dilihat kerajinan dan keikhlasan dalam mengerjakan shalat. Jika shalatnya baik, maka baiklah segala amalan yang lain, dan jika shalatnya itu rusak, maka rusak pula amalan yang lain. Jelasnya apabila seseorang mengaku beriman, tetapi ia tidak pernah mengerjakan shalat, maka pengakuannya tidak dibenarkan oleh syara’. Islam memandang shalat sebagai tiang agama dan intisari Islam terletak pada shalat, sebab dalam shalat tersimpul seluruh rukun agama. Dan amal ibadah yang pertama dihisab adalah shalat. 
1.          Makna Shalat
Shalat secara bahasa (etimologis) maknanya adalah doa . Adapun secara syari’at (terminologis) maknanya adalah perkataan dan perbuatan yang dimulai dari takbir (takbiratul-ihram) dan diakhiri dengan salam, yang dibarengi dengan niat.
2.          Dalil Pensyari’atan Shalat
Allah ta’ala berfirman :
قُل لّعِبَادِيَ الّذِينَ آمَنُواْ يُقِيمُواْ الصّلاَةَ وَيُنْفِقُواْ مِمّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلانِيَةً مّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ لاّ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خِلاَلٌ
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: “Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan” [QS. Ibrahim : 31].

3.          Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka dia telah kafir dan keluar dari agama Islam. Kaum muslimin (ulama) telah sepakat mengenai hal itu. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang hukum orang meninggalkan shalat karena malas atau bisikan hawa nafsu (tanpa mengingkari kewajibannya). Sebagian ulama mengkafirkan, dan sebagian lagi tidak mengkafirkan (kufur ashghar). Yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan tidak kafir.[2] Akan tetapi bukan berarti hal ini meremehkan kewajiban shalat. Bahkan orang yang meninggalkan shalat (karena malas dan dorongan hawa nafsu), maka ia telah berbuat salah satu dosa besar yang paling besar yang hampir menjerumuskannya pada pintu kekafiran. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat” [HR. Muslim no. 82].

4.          Jumlah Shalat Fardlu
Jumlah shalat fardlu dalam sehari semalam adalah lima kali shalat.
عن طلحة بن عبيد الله يقول: جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهل نجد، ثائر الرأس، يسمع دوي صوته ولا يفقه ما يقول، حتى دنا، فإذا هو يسأل عن الإسلام، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (خمس صلوات في اليوم والليلة) فقال: هل علي غيرها؟ قال: (لا إلا أن تطوع).
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah ia berkata : “Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa dipahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : ‘Shalat lima waktu dalam sehari semalam’. Ia bertanya lagi : ‘Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya ?’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : ‘Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja” [HR. Al-Bukhari no. 46].
Ia adalah shubuh (2 raka’at), dhuhur (4 raka’at), ‘asar (4 raka’at), maghrib (3 raka’at), dan ‘isya’ (4 raka’at).
5.          Waktu-Waktu Shalat
Allah ta’ala berfirman :
أَقِمِ الصّلاَةَ لِدُلُوكِ الشّمْسِ إِلَىَ غَسَقِ الْلّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)” [QS. Al-Israa’ : 78].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وقت الظهر إذا زالت الشمس. وكان ظل الرجل كطوله. ما لم يحضر العصر. ووقت العصر ما لم تصفر الشمس. ووقت صلاة المغرب ما لم يغب الشفق. ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل الأوسط. ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر. ما لم تطلع الشمس.
“Waktu dhuhur jika matahari telah tergelincir sampai bayangan seseorang sama tinggi dengan seseorang itu selama belum masuk waktu ‘ashar. Waktu ‘ashar sampai matahari berwarna kuning. Waktu shalat maghrib selama sinar matahari belum hilang. Waktu shalat ‘isya’ sampai tengah malam. Waktu shalat shubuh mulai terbitnya fajar (shadiq) sampai matahari belum terbit”[HR. Muslim no. 612].

Perinciannya adalah sebagai berikut :
a.       Waktu shubuh, dimulai dari terbitnya fajar shadiq sampai sebelum matahari terbit.
b.      Waktu dhuhur, dimulai saat matahari telah tergelincir (bayangan seseorang telah nampak sesaat setelah matahari tepat di atas kepala) sampai panjang bayangan seseorang sama dengannya tinggi badannya.
c.       Waktu maghrib, dimulai sesaat setelah matahari tenggelam sampai dengan sinar lembayung merah di ufuk barat habis.
d.       Waktu ‘isya’, dimulai setelah sinar lembayung merah di ufuk barat habis sampai dengan tengah malam tiba.
6.          Waktu Terlarang untuk Shalat
Dari Amru bin Abasah radliyallaahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia pernah berkata kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Beritahukanlah kepadaku sesuatu tentang shalat”.  Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صل صلاة الصبح. ثم أقصر عن الصلاة حتى تطلع الشمس حتى ترتفع. فإنها تطلع حين تطلع بين قرني شيطان. وحينئذ يسجد لها الكفار. ثم صل. فإن الصلاة مشهودة محضورة. حتى يستقل الظل بالرمح. ثم أقصر عن الصلاة. فإن، حينئذ، تسجر جهنم. فإذا أقبل الفيء فصل. فإن الصلاة مشهودة محضورة. حتى تصلي العصر. ثم أقصر عن الصلاة. حتى تغرب الشمس. فإنها تغرب بين قرني شيطان. وحينئذ يسجد لها الكف
Lakukanlah shalat Shubuh, kemudian berhentilah melakukan shalat lain, hingga terbit matahari, hingga matahari meninggi.  Sesungguhnya matahari itu terbit di antara sepasang tanduk setan.  Waktu itulah orang-orang musyrik bersujud kepadanya.  Kemudian shalatlah karena shalat pada saat itu disaksikan oleh para malaikat hingga bayang-bayang tembok tegak.  Kemudian berhentilah melakukan shalat lain, karena kala itu neraka Jahannam dinyalakan.  Apabila matahari sudah tergelincir, shalatlah hingga datang waktu Ashar.  Kemudian berhentilah melakukan shalat hingga matahari tenggelam.  Karena matahari tenggelam di antara sepasang tanduk setan, dan ketika itulah orang-orang musyrik bersujud kepadanya” [HR. Muslim no. 832].

Perincian waktu terlarang untuk shalat adalah sebagai berikut :
a.       Setelah shalat Shubuh sampai terbit matahari.
b.       Ketika terbit matahari sampai matahari meninggi setinggi satu tombak (dimulainya waktu Dluha)
c.         Ketika matahari tepat di atas kepala (pertengahan siang) sampai tergelincir (zawal – masuk waktu Dhuhur).
d.      Setelah shalat Ashar sampai terbenam matahari.
e.        Ketika matahari mulai tenggelam sampai betul-betul tenggelam (masuk waktu Maghrib).

Kelima waktu di atas adalah diharamkan bagi setiap muslim untuk melakukan shalat sunnah mutlak.[3]  Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang dilakukannya shalat sunnah dengan sebab-sebab tertentu (contoh : shalat tahiyyatul masjid, shalat sunnah wudlu, shalat kusuf (gerhana), dan lain-lain) yang dilakukan pada 5 waktu terlarang tersebut.  Yang lebihrajih (kuat) insya allah adalah diperbolehkan – wallahu a’lam.

7.          Meninggalkan Shalat karena Ketiduran atau Kelupaan.
Maka hendaknya ia segera mengerjakannya begitu ia teringat, sebagaimana perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
من نسي صلاة فليصل إذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك
“Barangsiapa yang tidak mengerjakan shalat karena lupa, maka hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut ketika ia teringat dengannya. Tidak ada kaffarat lain selain itu” [HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 684].


8.          Syarat sahnya shalat :
a)          Islam
b)          Berakal
c)           Tamyiz (mampu membedakan antara baik dan buruk
d)          Suci dari hadats besar dan hadats kecil.
e)          Suci badan, pakaian, dan tempat shalat.
f)            Menutup aurat (bagi wanita seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan).
g)          Dikerjakan pada waktunya.
h)          Menghadap kiblat.
i)            Niat
9.          Rukun-Rukun Shalat :
a)          Berdiri jika mampu.
b)          Takbiratul-ihram.
c)           Membaca Al-Fatihah.
d)          Rukuk.
e)          I’tidak setelah rukuk.
f)            Sujud pada tujuh anggota tubuh.
g)          Bangkit dari sujud.
h)          Duduk antara dua sujud.
i)            Thuma’ninah pada seluruh gerakan.
j)            Tertib pada seluruh pelaksanaan rukun-rukun shalat.
k)          Tasyahud akhir.
l)            Duduk (pada tasyahud akhir).
m)       Bershalawat pada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam.
n)          Salam.
10.     Shalat Berjama’ah Bagi Wanita
Para ulama sepakat bahwa kaum wanita tidak wajib mengerjakan shalat berjama’ah, akan tetapi syari’at tetap membenarkan mereka shalat berjama’ah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة
“Shalat berjama’ah duapuluh tujuh derajat lebih utama daripada shalat sendirian” [HR. Al-Bukhari no. 619 dan Muslim no. 650].
 Posisi imam seorang wanita yang mengimami wanita lainnya adalah di tengah-tengah shaff pertama.
عن ريطة الحنفية أن عائشة أمتهن وقامت بينهن في صلاة مكتوبة
Dari Raithah Al-Hanaifiyyah : “Bahwasannya ‘Aisyah pernah mengimami mereka dan ia berdiri di tengah mereka (barisan pertama) dalam shalat fardlu” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 5086, Ad-Daruquthni 1/404, dan Baihaqi 3/131; shahih bisyawahidihi].
  Rumah adalah Tempat Shalat yang Paling Baik Bagi Wanita
عن بن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam “Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid; akan tetapi shalatdi rumah adalah lebih baik bagi mereka” [HR. Abu Dawud no. 567, Ibnu Khuzaimah no. 1683, Al-Hakim no. 755 dan yang lainnya; shahih lighairihi].
Seorang wanita boleh mengimami sesama wanita atau anak kecil yang belum baligh. Wanita tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki.

Kaifiyyah (Tata Cara) Shalat
A.    Niat
Tidak disyari’atkan mengucapkan/melafadhkan niat, sebab hal itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, para shahabat, dan para ulama setelahnya (termasuk imam empat).

B.     Menghadap Sutrah (Pembatas dalam Shalat).
Sutrah adalah sesuatu yang digunakan sebagai pembatas shalat yang diletakkan di depan orang shalat.
Hukum menghadap sutrah ini adalah wajibbagishalat munfarid (sendirian) dan bagi imam  Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا تصل إلا إلى سترة ولا تدع أحدا يمر بين يديك فإن أبى فلتقاتله فإن معه القرين
“Janganlah engkau shalat kecuali menghadap sutrah (pembatas). Dan jangan engkau biarkan seorangpun lewat di hadapanmu (ketika engkau shalat). Jika ia enggan, maka perangilah ia, sesungguhnya ia bersama dengan qarin (syaithan)” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 800; shahih].
وَقَالَ ابن مَسعود : أَربَع منَ الخلَفَاء : أن يصلي الرّجل إلى غير سترة … أو يسمع المنادي ثم لا يجيبه
Dan Ibnu Mas’ud berkata : “Empat hal dari kemunkaran yaitu : Seseorang melakukan shalat tidak menghadap sutrah….. atau mendengar panggilan (adzan) lalu tidak menjawabnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/61 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra2/285; shahih].

C.     Berdiri jika mampu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب
“Shalatlah sambil berdiri. Bila tidak sanggup, maka shalatlah sambil duduk. Bila tidak sanggup juga, shalatlah sambil berbaring” [HR. Al-Bukhari no. 1066, Abu Dawud no. 939, dan At-Tirmidzi no. 369].
Seluruh ulama sepakat (ijma’) bahwa orang yang sehat lagi mampu wajib melakukan shalat fardlu sambil berdiri, baik sendiri maupun menjadi imam.
Bila ia sedang naik pesawat, kapal, atau kendaraan lain yang tidak mungkin baginya untuk turun (ke tanah/darat) sewaktu-waktu, maka ia tetap wajib shalat sambil berdiri jika mampu. Namun jika tidak mampu, maka boleh baginya shalat sambil duduk.
Boleh mengerjakan shalat sunnah sambil duduk tanpa alasan apapun, akan tetapi ia hanya mendapatkan pahal setengah dari orang yang berdiri. ‘Imran bin Hushain pernah bertanya kepada Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wasallam tentang orang yang shalat sambil duduk. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab :
إن صلى قائما فهو أفضل ومن صلى قاعدا فله نصف أجر القائم ومن صلى نائما فله نصف أجر القاعد
“Barangsiapa yang shalat dengan berdiri, maka hal itu lebih baik. Orang yang mengerjakan shalat sambil duduk mendapatkan setengah pahala orang yang mengerjakannya sambil berdiri. Orang yang mengerjakan shalat sambil berbaring mendapatkan setengah pahala orang yang mengerjakannya sambil duduk” [HR. Bukhari no. 1064].
Namun jika ia melakukan shalat sambil duduk atau berbaring karena udzur (sakit atau yang lainnya), maka ia tetap mendapatkan pahala sebagaimana orang berdiri (tidak kurang). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إذا مرض العبد أو سافر كتب له مثل ما كان يعمل مقيما صحيحا
“Barangsiapa yang jatuh sakit atau melakukan perjalanan jauh, maka dicatatkan pahala baginya pahala seperti yang biasa ia dilakukannya ketika bermukim atau sehat” [HR. Al-Bukhari no. 2834].

D.    Takbiratul-Ihram dan Mengangkat Tangan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم
“Kunci shalat itu adalah suci, pengharamannya adalah takbir (yaitu takbiratul-ihram), dan penghalalannya adalah salam” [HR. Abu Dawud no. 61, Asy-Syafi’i dalam Al-Umm 1/87, At-Tirmidzi no. 3 dan lain-lain; hasan].
إنه لا تتم صلاة لأحد من الناس حتى يتوضأ، فيضع الوضوء مواضعه ثم يقول :‏ اَللهُ أَكْبَرُ
“Sesungguhnya tidaklah sempurna shalat salah seorang di antara manusia sehingga ia berwudlu dan meletakkan wudlu tersebut pada tempatnya (yaitu pada anggota badan yang wajib terkena air wudlu), lalu berkata : Allaahu Akbar” [HR. Thabarani dalam Al-Kabiir no. 4526; shahih].
Kadangkala Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir.
أن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم افتتح التكبير في الصلاة، فرفع يديه حين يكبر، حتى يجعلهما حذو منكبيه
Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata : “Aku melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memulai shalat dengan takbir. Maka beliau mengangkat kedua tangannya ketika (bersamaan) takbir setinggi kedua pundaknya” [HR. Al-Bukhari no. 705].
Kadangkala beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangan sebelum takbir.
أن بن عمر قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قام للصلاة رفع يديه حتى تكونا حذو منكبيه ثم كبر
Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata : Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila berdiri untuk shalat, maka beliau mengangkat kedua tangannya setinggi kedua pundaknya, kemudian beliau bertakbir” [HR. Muslim no. 390].
Kadangkala beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangan setelah takbir.
عن أبي قلابة أنه رأى مالك بن الحويرث إذا صلى كبر ثم رفع يديه وإذا أراد أن يركع رفع يديه وإذا رفع رأسه من الركوع رفع يديه وحدث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يفعل هكذا
Dari Abu Qilabah : “Bahwasannya ia melihat Malik bin Al-Huwairits apabila ia melakukan shalat, maka ia bertakbir kemudian mengangkat kedua tangannya. Dan apabila ia hendak rukuk, maka ia mengangkat kedua tangannya. Apabila ia mengangkat kepalanya dari rukuk (i’tidal), maka ia mengangkat kedua tangannya. Ia mengatakan bahwasannya Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan demikian (dalam shalat)” [HR. Al-Bukhari no. 704 dan Muslim no. 391].
Beliau shallalaahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangan sejajar kedua pundaknya (berdasarkan hadits di atas). Kadangkala, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya.
عن مالك بن الحويرث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا كبر رفع يديه حتى يحاذي بهما أذنيه
Dari Malik bin Al-Huwairits : “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua telinganya” [HR. Muslim no. 391].

E.     Meletakkan Tangan Kanan di Atas Tangan Kiri di Dada
عن سهل بن سعد قال كان الناس يؤمرون أن يضع الرجل اليد اليمنى على ذراعه اليسرى في الصلاة
Dari Sahl bin Sa’id radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Adalah para shahabat diperintahkan (oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) bahwa seseorang agar meletakkan tangan kanannya di atas hasta kirinya dalam shalat”[HR. Al-Bukhari no. 707].
Dari Wa’il bin Hujr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ووضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di dadanya” [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 479].
Adapun meletakkan kedua tangan di bawah dada atau perut, maka hal ini tidak benar (menyelisihi sunnah).
F.      Melihat Tempat Sujud dan Khusyu’
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا صلى رفع بصره إلى السماء فنزلت الذين هم في صلاتهم خاشعون فطأطأ رأسه
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah shalat dengan mengangkat pandangannya ke langit. Maka turunlah ayat : “(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya” {QS. Al-Mukminun : 2}.
Maka beliau kemudian menundukkan kepalanya”  [HR. Al-Hakim no. 3483; shahih sesuai syarat Muslim].
Dilarang menoleh ketika shalat, sebagaimana penjelasan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika beliau ditanya tentang hukum menoleh ketika shalat :
هو اختلاس يختلسه الشيطان من صلاة العبد
“Itulah ikhtilaas (mencuri-curi), yang dicuri-curi syaithan dari shalat seorang hamba” [HR. Al-Bukhari no. 718].
Akan tetapi diperbolehkan untuk melirik (tanpa menoleh) jika ada keperluan.
عن بن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يلحظ في الصلاة يمينا وشمالا ويلوى عنقه خلف ظهره
Dari Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melirik ke kanan dan ke kiri dalam shalat, namun beliau tidak menolehkan leher beliau ke belakang” [HR. At-Tirmidzi no. 587 dan Ibnu Khuzaimah no. 485 dengan sanad shahih].

G.    Membaca Iftitah/Istiftah
Hukumnya adalah sunnah menurut jumhur ulama (dan ini adalah pendapat yang rajih/kuat).  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إنه لا تتم صلاة لأحد من الناس حتى يتوضأ، فيضع الوضوء يعني مواضعه ثم يكبر ويحمد الله جل وعز ويثني عليه ويقرأ بما تيسر من القرآن
“Sesungguhnya shalat seseorang tidaklah sempurna kecuali bila dia wudlu pada anggota tubuh yang terkena air wudlu, kemudian mengucapkan takbir, memuji Allah jalla wa ‘azza dan mengagungkannya, serta membaca Al-Qur’an yang mudah baginya” [HR. Abu Dawud no. 857; shahih].
H.    Membaca Surat Al-Fatihah
Wajib membaca Al-Fatihah (dan ini menjadi bagian dari rukun shalat). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah” [HR. Al-Bukhari no. 723 dan Muslim no. 394].
Jika ada orang yang tidak hafal surat Al-Fatihah, maka dia boleh membaca :
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ إِلَهَ إِلا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلا بِاللهِ
Subhaanalloohi wal-hamdulillaahi walaa ilaaha illalloohu walloohu akbar. Walaa haula walaa quwwata illaa billaah
“Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Allah Maha Besar dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah” [HR. Abu Dawud no. 832; hasan].
Namun keringanan ini hanya berlaku bagi orang yang benar-benar tidak mampu menghafalnya setelah berusaha sekuat tenaga untuk menghafalnya.
I.       Mengucapkan Amiin Setelah Membaca Al-Fatihah
عَنْ وَائِل بْنِ حُجْر قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأَ { وَلاَ الضَالِينَ } قَالَ آمِيْنَ وَرَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bila selesai membaca Waladl-dlooolliin; maka beliau berkata : Aamiin, dan beliau mengangkat suara dengannya” [HR. Abu Dawud no. 932; shahih].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إذا أمن الإمام فأمنوا فإنه من وافق تأمينه تأمين الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه
“Jika imam mengucapkan aamiin, maka ikutilah dengan mengucapkan aamiin juga. Sesungguhnya, barangsiapa yang ucapan amin-nya bersamaan dengan aamiin yang diucapkan oleh malaikat; maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” [HR. Al-Bukhari no. 747 dan Muslim no. 410].
Sebagian ulama mengatakan bahwa membaca aamiin setelah Al-Fatihah adalah wajib.

J.       Membaca Surat /Ayat yang Dihafal dari Al-Qur’an
             Hukumnya adalah sunnah.
عَنْ أبِيْ هرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ يَقُوْلُ فيْ كُلِّ صَلاَةٍ يُقْرَأُ فَمَا أَسْمَعَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْمَعْنَاكُمْ وَمَا أَخْفَى عَنَّا أَخْفَيْنَا عَنْكُمْ وَإِنْ لَمْ تَزِدْ عَلَى أُمِّ الْقُرْآنِ أَجْزَأَتْ وَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ‘anhu ia berkata : “Al-Qur’an dibaca pada setiap shalat. Bacaan yang dikeraskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kami pun mengeraskannya ketika kami menjadi imam. Dan bacaan yang tidak dikeraskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka kami pun tidak mengeraskannya. Jika kamu tidak menambah bacaan selain Ummul-Qur’an (Al-Fatihah), maka itu sudah cukup. Jika kamu menambah bacaan surat selain Ummul-Qur’an, maka itu lebih baik” [HR. Al-Bukhari no. 738].
 Sebagian ulama menjelaskan bahwa sebaiknya bacaan pada raka’at pertama lebih panjang daripada raka’at kedua.
Disunnahkan pula membaca surat lain setelah Al-Fatihah pada raka’at ketiga dan/atau keempat berdasarkan hadits :
عن أبي سعيد الخدري أن النبي صلى اللَّه عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الظهر في الركعتين الأوليين في كل ركعة قدر ثلاثين آية وفي الأخريين قدر خمس عشرة آية
Dari Abi Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallammembaca surat (setelah Al-Fatihah) dalam dua raka’at pertama shalat Dhuhur untuk setiap raka’atnya sekitar tigapuluh ayat. Sedangkan dalam dua raka’at terakhir beliau membaca sekitar lima belas ayat”  [HR. Muslim no. 452].
K.    Rukuk
Setelah membaca ayat Al-Qur’an, hendaknya ia berhenti sejenak sebelum memulai gerakan untuk rukuk, sebagaimana riwayat Samurah bin Jundub radliyallaahu ‘anhu.[10] Lama berhenti ini sekitar satu nafas.
 Mengangkat kedua tangan ketika hendak rukuk.
عن وائل بن حجر ……..فلما أراد أن يركع رفعهما مثل ذلك (رفع يديه)
Dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “…..Ketika beliau hendak rukuk, maka beliau melakukan hal yang serupa (yaitu mengangkat kedua tangannya)” [HR. Abu Dawud no. 726;shahih].
Ketika rukuk, posisi punggung dan kepala adalah lurus dan rata.
كان إذا ركع سوِى ظهره حتى لو صب عليه الماء لاستقر
“Apabila beliau rukuk, maka beliau meluruskan punggungnya. Bahkan seandainya disiramkan air di atas punggung tersebut, maka pasti tidak akan tumpah ke bawah” [Lihat Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 4732].
إن رسول اللَّه لم يصب رأسه ولم يقنعه
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menundukkan kepalanya dan tidak pula mengangkat/ menegakkannya” [HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa; shahih].

·         Bacaan dalam rukuk (bisa dipilih dan dibaca yang mudah) :
-          { سُبْحَانَ رَبِّيَّ الْعَظِيْمِ}
Subhaana Rabbiyal-‘Adhiim (tiga kali)
“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung” [HR. Abu Dawud no. 871, Ibnu Majah no. 890, dan lain-lain; shahih].
-          { سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَ اغْفِرْ لِيْ }
Subhaanakalloohumma wabihamdika alloohummagh-firlii
“Aku menyucikanmu ya Allah, Tuhan kami, dan aku memujimu. Ya Allah, ampunilah aku” [HR. Al-Bukhari no. 761 dan Muslim no. 484].
-          { سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ }
Subbuuhun qudduusun robbul-malaaikati war-ruuh
“Engkau Maha Suci, Maha Qudus, Tuhan para malaikat dan ruh” [HR. Muslim no. 487 dan Abu Dawud no. 872].

·         Wajib thuma’ninah dalam rukuk. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
….ثم اركع حتى تطمئن راكعا
“Kemudian rukuklah sampai engkau merasa thuma’ninah dalam rukuk itu” [HR. Al-Bukhari no. 724 dan Muslim no. 397].
m)      
L.     Bangkit dan Berdiri dari Rukuk (I’tidal).
Mengucapkan : {  سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ} « Sami’alloohu liman hamidah » ketika mengangkat badan dari rukuk, dan { رَبَنَا لَكَ الْحَمْدُ} « Robbanaa lakal-hamdu » ketika telah berdiri. Hal itu berdasarkan hadits :
عن أبي هريرة يقول كان رسول الله صلى اللَّه عليه وسلم إذا قام إلى الصلاة يكبر حين يقوم ثم يكبر حين يركع ثم يقول : سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حين يرفع صلبه من الركعة ثم يقول وهو قائم رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila berdiri shalat beliau mengucapkan takbir ketika dalam keadaan berdiri, kemudian beliau bertakbir ketika hendak rukuk. Beliau mengucapkan :  Sami’alloohu liman hamidah (Mudah-mudahan Allah mendengarkan/memperhatikan orang-orang yang memuji-Nya) ketika beliau mengangkat/ menegakkan tulang pungungnya. Kemudian beliau mengucapkan setelah berdiri : Robbanaa lakal-hamdu (Tuhan kami, Engkaulah yang pantas mendapat pujian)” [HR. Al-Bukhari no. 756].
Dalam shalat berjama’ah, maka ketika imam mengucapkan « Sami’alloohu liman hamidah », maka makmum mengikutinya dengan ucapan « Robbanaa lakal-hamdu » (atau yang lain sebagaimana di atas).
Setelah ucapan « Robbanaa lakal-hamdu » (atau yang semisal di atas), maka disunnahkan untuk menambah dengan ucapan:
مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ اْلأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Mil-as samaawaati wa mil-al ardli wa mil-a maa syi’ta min syain ba’du
“Sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki sesudah itu” [HR. Muslim no. 476].

M.   Sujud
 Bertakbir ketika turun untuk sujud, berdasarkan hadits :
…..ثم يكبر حين يرفع رأسه ثم يكبر حين يسجد
“….Kemudian beliau bertakbir ketika mengangkat kepalanya (i’tidal), dan kemudian beliau pun bertakbir ketika hendak sujud” [HR. Al-Bukhari no. 756].
Terkadang beliau mengangkat tangan ketika hendak sujud, berdasarkan hadits :
عن مالك بن الحويرث أنه رأى النبي صلى اللَّه عليه وسلم رفع يديه في صلاته وإذا ركع وإذا رفع رأسه من الركوع وإذا سجد وإذا رفع رأسه من السجود……
Dari Malik bin Al-Huwairits : “Bahwasannya ia melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallammengangkat kedua tangannya dalam shalatnya ketika hendak rukuk, ketika mengangkat kepalanya dari rukuk (i’tidal), ketika hendak sujud, dan ketika mengangkat kepala dari sujud…..” [HR. An-Nasa’i no. 1085; shahih].
Mendahulukan tangan daripada lutut ketika turun dari sujud. Hal ini berdasarkan hadits :
عن أبي هريرة قال رسول الله صلى اللَّه عليه وسلم إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :“Apabila salah seorang diantara kalian hendak sujud, maka janganlah ia menyungkur seperti menyungkurnya seekor unta. Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya” [HR. Abu Dawud no. 840, Nasa’i no. 1091, dan yang lainnya; shahih] [11].
 Ketika sujud, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sujud dengan tujuh anggota badan (dahi dan hidung – dianggap satu kesatuan –, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua kaki). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عن بن عباس أَن رسول الله صلى اللَّه عليه وسلم قال أمرت أن أسجد على سبعة أعظم الجبهة وأشار بيده على أنفه واليدين والرجلين وأطراف القدمين
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : “Aku diperintahkan untuk sujud dengan tujuh anggota tubuh, yaitu dahi (beliau berisyarat ke hidungnya), kedua (telapak) tangan, kedua kaki (maksudnya kedua lutut), dan kedua ujung kaki” [HR. Al-Bukhari no. 776 dan Muslim no. 490].
Bacaan dalam sujud (bisa dipilih dan dibaca yang mudah) :
-         {سُبْحَانَ رَبِّيَّ الْأَعْلَى}
Subhaana robbiyal-a’laa (tiga kali)
“Maha Suci Allah yang Maha Tinggi” [HR. Abu Dawud no. 871, Ibnu Majah no. 890, dan lain-lain;shahih].
-         {سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَ اغْفِرْ لِيْ}
Subhaanakalloohumma wabihamdika alloohummagh-firlii
“Aku menyucikanmu ya Allah, Tuhan kami, dan aku memujimu. Ya Allah, ampunilah aku” [HR. Al-Bukhari no. 761 dan Muslim no. 484].
-         { سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ }
Subbuuhun qudduusun robbul-malaaikati war-ruh
“Engkau Maha Suci, Maha Qudus, Tuhan para malaikat dan ruh” [HR. Muslim no. 487 dan Abu Dawud no. 872].

    N.    Duduk di Antara Dua Sujud
Mengucapkan takbir ketika mengangkat kepala dari sujud.
ثم يكبر حين يسجد ثم يكبر حين يرفع رأسه
“….Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bertakbir ketika sujud, dan bertakbir pula ketika mengangkat kepala beliau (dari sujud)” [HR. Al-Bukhari no. 756].
Beliau duduk iftirasy dengan cara duduk di atas telapak kaki kiri dan menegakkan kaki kanannya.
عن عبد الله بن عمر قال من سنة الصلاة أن تنصب القدم اليمنى واستقباله بِأصابعها القبلة والجلوس على اليسرى
Dari Abdullah bin ‘Umar ia berkata : “Termasuk sunnah shalat adalah menegakkan telapak kaki kanan, menghadapkan jari-jarinya ke kiblat, dan beliau duduk di atas telapak kaki kirinya” [HR. Nasa’i no. 1158; shahih].
Bacaan ketika duduk di antara dua sujud (bisa dipilih salah satu) :
     { اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَعَافِنِيْ وَاهْدِنِيْ وَارْزُقْنِيْ }
Alloohummagh-firlii warhamnii wa ‘aafinii wahdinii warzuqnii
“Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, sehatkanlah aku, dan berilah aku rizki” [HR. Abu Dawud no. 850].
  { رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَارْفَعْنِيْ }

   O.    Tasyahud Awal
  Duduk tasyahud awal adalah duduk iftirasy sebagaimana duduk di antara dua sujud
عن أبي حميد الساعدي : …… فإذا جلس في الركعتين جلس على رجله اليسرى ونصب اليمنى
Dari Abu Humaid As-Sa’idi : “….Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam duduk pada raka’at kedua (yaitu duduk tasyahud awal), maka beliau duduk di atas telapak kaki kirinya dengan menegakkan telapak kaki kanannya” [HR. Al-Bukhari no. 794].



P.      Tasyahud Akhir.
Secara umum, apa yang dilakukan pada tasyahud awal juga dilakukan pada tasyahudakhir. Hanya saja dalam tasyahud akhir, posisi duduk adalah tawaruk.
عن أبي حميد الساعدي : ….. وإذا جلس في الركعة الآخرة قدم رجله اليسرى ونصب الأخرى وقعد على مقعدته
Dari Abu Huamid As-Sa’idi radliyallaahu ’anhu : ”……Dan apabila beliau shallallaahu ’alaihi wasallam duduk pada raka’at terakhir, maka beliau menjorokkan (telapak) kaki kirinya, menegakkan (telapak) kaki kanan, dan duduk di atas pantatnya” [HR. Al-Bukhari no. 794].

Membaca doa sebelum salam
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
عن أبي هريرة يقول قال رسول الله صلى اللَّه عليه وسلم إذا فرغ أحدكم من التشهد الآخر فليتعوذ بالله من أربع من عذاب جهنم ومن عذاب القبر ومن فتنة المحيا والممات ومن شر المسيح الدجال
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Apabila salah seorang diantara kamu telah menyelesaikan (bacaan) tasyahud akhir, maka mohonlah kepada Allah agar dilindungi dari empat perkara, (yaitu) : siksa neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah/cobaan hidup dan mati, dan kejahatan Al-Masih Ad-Dajjal” [HR. Muslim no. 588].
Adapun lafadh doanya adalah :
{ اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ }
Alloohumma innii a’uudzubika min ‘adzaabi jahannama wa min ‘adzaabil-qobri wa min fitnatil-mahyaa wal-maaati wa min syarri fitnatil-masiihid-dajjaal
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati, serta dari kejahatan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal” 

    Q.    Salam
Salam pertama termasuk bagian rukun shalat yang harus dikerjakan, sedangkan salam kedua merupakan sunnah.
عن عامر بن سعد عن أبيه قال كنت أرى رسول الله صلى اللَّه عليه وسلم يسلم عن يمينه وعن يساره حتى أرى بياض خده

Dari ’Amir bin Sa’d dari ayahnya radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Aku melihat Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam melakukan salam (di akhir shalat) dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, sehingga aku melihat putih pipi beliau” [HR. Muslim no. 582].

Posting Komentar

0 Komentar